Kebijakan
menerapkan pendidikan Bertaraf internasional perlu mendapatkan kajian ulang.
Setidaknya, itulah kalimat yang banyak terluncur dari para praktisi pendidikan.
Menurut mereka, kebijakan ini belum melalui sebuah kajian yang mendalam.
Sehingga banyak ditemukan kelemahan-kelemahan program tersebut. Lebih keras
mereka menyebut program ini hanya sebagai eksploitasi komersialisasi pendidikan
belaka.
Banyak
insan pendidikan menganggap kwalitas sekolah-sekolah Bertaraf internasional
(SBI) ini tidak berbeda secara signifikan dengan sekolah standar nasional (SSN)
atau standar nasional pendidikan ( SNP) yang peringkatnya dianggap lebih
rendah.
Pelabelan
Bertaraf internasional kebanyakan hanya mengacu pada perbaikan kulit luarnya
saja, seperti kelas yang ber-AC, proyektor, dan fasilitas komputer serta
laptop. Sementara dari segi pengajaran tidak jauh dengan sekolah-sekolah yang
hanya Bertaraf nasional.
Namun kita
juga tidak boleh melupakan bahwa program pengadaan sekolah Bertaraf
internasional merupakan amanat dari sistem hukum
pendidikan nasional yang mengharuskan setiap kotamadya dan kabupaten setidaknya
memiliki sekolah dasar dan menengah yang Bertaraf internasional.
Dasar
pemikiran pemerintah untuk memasukkan program ini dalam produk hukum yang
terkemas dalam sistem pendidikan nasional dinilai hanya berpihak pada kalangan
tertentu. Latar belakang kebijakan ini adalah sebagai reaksi atas fenomena
banyaknya orangtua yang menyekolahkan anak-anak mereka ke luar negeri. Langkah
ini diambil tentunya karena sistem pendidikan di Indonesia dianggap tidak
menjanjikan kualitas yang mereka idamkan. Pemikirannya, apabila pemerintah
menyediakan beberapa sekolah dengan sistem pendidikan Bertaraf internasional,
para orangtua ini tidak perlu lagi melirik sekolah lain di luar negeri.
Tanpa
melalui studi yang komprehensif, Kebijakan ini dinilai sebagai kebijakan yang
salah kaprah. Pemerintah dinilai gagal untuk mengimplementasikan tujuan
pendidikan yang menjunjung nilai-nilai egaliter. Seyogyanya,
pendidikan yang berkualitas disediakan pemerintah di semua sekolah, bukan hanya
di beberapa titik. Pemerataan kualitas pendidikan nasionallah yang seharusnya
lebih banyak terpikirkan oleh pemerintah.
Jika
sudah demikian, maka sebaiknya kebijakan tersebut direvisi. Sekolah-sekolah dalam
bentuk non-standar nasional, termasuk SBI/RSBI, dikembalikan lagi ke model
sekolah reguler.
Lebih
jauh jika kita melihat tentang pelaksanaan sekolah Bertaraf internasional, maka
kita akan menemukan banyak permasalahan yang memerlukan pembenahan. Karena itu
tidak salah kiranya jika kita mengatakan bahwa konsep SBI/RSBI telah gagal.
Diantara permasalahan yang mencolok
adalah penetapan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam mengajarkan
beberapa bidang studi. Hal ini juga menimbulkan banyak masalah dan kontroversi.
Kontroversinya adalah bahwa secara empirik ternyata kebijakan ini justru dapat
menyebabkan merosotnya nilai dan kompetensi siswa di bidang studi yang
diajarkan. Dapat dibayangkan betapa sulit peserta didik, selain harus mengusai
bidang studi yang diajarkan juga harus memahami bahasa yang digunakan. Tentu
ini bisa berdampak dalam kompetensi belajar.
Dalam penggunaan bahasa Inggris yang
perlu diperhatikan adalah bahwa dalam konteks pembelajaran berbagai mata
pelajaran sudah barang tentu istilah-istilah bahasa Inggris yang digunakanpun
berbeda-beda sesuai dengan konteks pembelajaran. Ini tentunya akan sangat
menyulitkan peserta didik. Ide menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar dalam pembelajaran digunakan secara serampangan dan di luar kaidah
justru mengakibatkan kekacauan dan kemerosotan mutu pembelajaran. Lebih parah
lagi jika tidak ditunjang dengan pendidik yang memiliki kompetensi bahasa
Ingris sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan.
Dengan demikian kita bisa melihat
bahwa kebijakan sekolah Bertaraf internasional seakan-akan program yang
dipaksakan Penggunaan standar internasional dengan mengadopsi sistem
sekolah-sekolah internasional tersebut sebetulnya tidaklah esensial. Namun yang
paling penting adalah peningkatan mutu pendidikan nasional kita.
Terlepas dari persoalan-persoalan
dalam pelaksanaan proses pembelajaran, keberadaan sekolah Bertaraf
internasional ini turut pula
menyumbangkan dikotomi sosial. Siswa yang bersekolah di sekolah
internasional ini identik dengan mereka yang terlahir dalam strata sosial kelas
atas. Sementara bagi siswa miskin haram hukumnya untuk menduduki bangku kelas
internasional ini.
Karena itu tidak salah jika kiranya
insan pendidikan memberikan kritik terbesarnya dengan menyamakan program
sekolah Bertaraf internasional ini dengan legitimasi kepada sekolah untuk
melakukan komersialisasi pendidikan. Padahal komersialisasi pendidikan merupakan
pengkhianatan terhadap pembukaan UUD 1945 yang menyatakan pendidikan bertujuan
mencerdaskan kehidupan berbangsa.
Setelah
melihat fakta-fakta tersebut, kita sebagai insan pendidikan hanya bisa mengurut
dada dan berdoa semoga kebijakan tersebut direvisi atau dikaji kelayakannya
secara mendalam. Dengan
studi kelayakan yang tepat, pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan sistem
pendidikan yang tidak diskriminatif dan ekslusif. Pendidikan yang sama rata dan
inklusif merupakan harapan semua warga negara. Dengan demikian, tujuan founding
father negara dalam mencerdaskan seluruh bangsa Indonesia bisa terlaksana.
Pendidikan adalah hak segenap warga
negara, karena itu sudah merupakan kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan
pendidikan yang bermutu bagi rakyat. Dengan insan pendidikan yang cerdas,
bangsa akan segera bangkit dari keterpurukan.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusWebsite paling ternama dan paling terpercaya di Asia
BalasHapusSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 8 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.net
arena-domino.org
100% Memuaskan ^-^