BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kata “ baik “ merupakan kata yang
sangat subjektif. Setiap orang, ingin dikatakan baik, sekalipun sebenarnya ia
tidak baik. Kita juga sering memberikan penilaian kepada orang lain baik dan
tidak baik hanya sekedar dhahir yang kita pahami. Memang benar sangat sulit
untuk menjatuhkan penilaian moral terhadap orang lain, yang dapat kita nilai
adalah sikap lahiriah saja.
Kita boleh saja mengatakan bahwa
tidakan atau kelakuan tertentu kita anggap salah atau buruk dan menegur orang
yang melakukannya. Tetapi kita tidak berhak untuk menarik kesimpulan bahwa
orang itu sendiri buruk. Barangkali ia salah perhitungan atau memang sebenarnya
memiliki maksud yang baik.
Berkaitan dengan persoalan keagamaan,
kita juga tidak pernah dapat mengatakan bahwa orang lain berdosa. Yang dapat
kita katakan adalah bahwa kelakuan seseorang tidak sesuai dengan apa yang
menurut hemat kita seperti dituntut Tuhan. Bisa jadi orang tersebut berbuat
keliru karena bingung, kurang pintar atau salah tafsir.
Oleh karena itu, kebaikan yang hakiki
hanya Allah sematalah yang berhak menilainya. Manusia hanya dapat mengamati
indikasi-indikasi kebaikan dari segi luarnya saja, tanpa bisa menjustifikasi
lebih jauh.
Lantas kebaikan menurut Al-Qur’an dan
hadist sendiri bagaimana? Apakah cukup melihat dhahirnya saja, orang sudah bisa
dikatakan sebagai orang baik atau justru sebaliknya?. Karena itu dalam makalah
sederhana ini, penulis ingin mencoba untuk membahas tentang kebaikan dilihat
dari sisi Al-Qur’an dan hadist.
1.2. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian kebaikan?
2.
Bagaimana konsep Al-Qur’an tentang kebaikan?
3.
Apakah kebaikan sama dengan akhlak terpuji?
1.3. Tujuan
Selain
sebagai bagian tugas dari matakuliah materi Al-Qur’an Hadist SLTA, makalah ini
bertujuan untuk:
1.
Mengetahui pengertian kebaikan
2.
Mengetahui konsep Al-Qur’an tentang kebaikan
3.
Mengetahui
hubungan kebaikan dengan akhlak terpuji
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Baik
Dari segi bahasa baik atau kebaikan adalah
terjemahan dari kata khoir, al-birr, al ma’ruf ( dalam bahasa arab ), good ( dalam bahasa Inggris ). Dikatakan bahwa
yang disebut baik adalah sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dan kepuasan,
kesenangan, persesuaian.
Al-birr menurut Al-Isfahani, adalah pecahan
dari al-barr yang memiliki arti al-tawassu' fi al-khair (kelapangan dalam
mengerjakan kebaikan). Dengan demikian, kata al-birr mencakup dua arti.
Pertama, pekerjaan hati seperti keyakinan serta niat yang suci. Kedua,
pekerjaan anggota badan seperti ibadah kepada Allah dan berinfaq.
Al-ma’ruf berarti suatu yang dikenali baik
(kebaikan). Banyak yang mengartikan bahwa al-ma’ruf adalah perbuatan baik yang
dilakukan oleh umat muslim, seperti bersedekah, beribadah, beramal dan
sebagainya.
Sementara Al-khayr mempunyai arti kebaikan. Lebih
tepatnya perbuatan baik. Perbuatan yang selalu mendatangkan berkah dan
kesenangan bagi orang yang sedang membutuhkan dan bertujuan untuk mendapatkan
rahmat dan ridho Allah SWT.[1]
Sedang ‘baik’ menurut Ethik adalah
sesuatu yang berharga untuk tujuan. Sebaiknya yang tidak berharga, tidak
berguna untuk tujuan apabila yang merugikan, atau yang mengakibatkan tidak
tercapainya tujuan adalah buruk dan yang disebut baik dapat pula berarti
sesuatu yang mendatangkan memberikan perasaan senang atau bahagia.[2]
Dengan demikian bahwa secara umum yang
disebut baik atau kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan, yang diusahakan dan
menjadi tujuan manusia. Walaupun tujuan orang atau golongan di dunia ini
berbeda-beda, sesungguhnya pada akhirnya semuaya mempunyai tujuan yang sama
sebagai tujuan akhir tiap-tiap sesuatu.
Mengetahui sesuatu yang baik akan
mempermudah dalam mengetahui yang buruk yang diartikan sesuatu yang tidak baik.
Dengan demikian yang dikatakan buruk itu adalah sesuatu yang dinilai sebaliknya
dari yang tidak baik, dan tidak disukai kehadirannya oleh manusia.
2.2. Konsep Al-Qur’an tentang
Kebaikan
Berkenaan dengan konsep “kebaikan”
dalam Al-Qur’an penulis mencoba menyadur dari tulisan Drs. Enoh, M. Ag yang
dipublikasikan dalam jurnal Mimbar dengan judul ‘Konsep baik (kebaikan) dan
buruk (keburukan) dalam Al-Qur’an’.
Dalam tulisan tersebut disebutkan
bahwa kata ‘baik’ dalam Al-Qur’an memiliki sinonim yang banyak dan
istilah-istilah tersebut memiliki maksud-maksud tersendiri yang juga merujuk
pada arti kebaikan. Diantaranya adalah;
1.
Al-husnu atau Al-Hasanah merupakan gambaran segala sesuatu yang menyenangkan
dan disukai, baik berdasarkan pandangan akal, hawa, atau dari segi pandangan
secara fisik. Penggunaan kata al-husnu, di dalam Alquran, adalah juga
untuk segala sesuatu yang dipandang baik berdasarkan bashirah (hati
nurani),

“Mereka yang mendengarkan perkataan
lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal” (QS. Azzumar : 18)
2.
Al-ihsan yaitu mengamalkan kebaikan yang diketahuinya yang sifatnya lebih
umum daripada memberikan kenikmatan. Inilah istilah yang tepat untuk digunakan
kebaikan akhlak manusia. Dengan istilah ini, maka dalam peristilahan ini
perilaku manusia menggambarkan kualitas diri yang melakukan perbuatan sesuai
dengan pikirannya dan memberi manfaat kepada orang lain. Alquran menegaskan
bahwa perbuatan baik akan kembali kepada dirinya

“Jika kamu berbuat baik (berarti)
kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka
(kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi
(kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka
kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya
pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka
kuasai”
3. al-khair
adalah kebaikan berupa kenikmatan dunia yaitu yang terbaik dari segala
sesuatu. Abu Ishak menyebutnya bahwa pada dirinya terdapat kebaikan akhlak dan
bagus
rupa. Kata al-khairah dinisbatkan kepada wanita yang mulia, yaitu yang
berketurunan mulia, bagus rupa bagus akhlak, dan banyak hartanya sehingga jika
melahirkan akan memberikan kesenangan /menyenangkan. Al-khair adalah
segala sesuatu yang disukai, seperti akal, adil, utama, dan sesuatu yang
bermanfaat. Kebaikan berdasarkan kata ini dibagi dua, yaitu kebaikan mutlaq dan
kebaikan muqayyad. Kebaikan mutlak adalah kebaikan yang disenangi pada
setiap keadaan dan siapa pun, seperti syurga. Sedangkan kebaikan muqayyad adalah
kebaikan yang mungkin baik bagi seseorang dan dalam keadaan tertentu, tetapi
tidak bagi yang lainnya atau dalam keadaan lainnya.

“Dan bagi tiap-tiap umat ada
kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam
membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu
sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”
( QS. Al-Baqarah: 148)

“Mereka beriman kepada Allah dan hari
penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar
dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk
orang-orang yang saleh” (QS: Al-Imran : 144)
Dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa konsep kebaikan dalam term alkhairr, memiliki
kecenderungan dalam menggambarkan kebaikan dan keburukan yang berdimensi
sosial. Kebaikan dan keburukan berdasarkan istilah ini lebih menggambarkan
kebaikan dan keburukan yang tidak mudah diketahui oleh masyarakat banyak,
melainkan hanya oleh orang-orang tertentu. Dengan demikian wajar bila Alquran
mengisyaratkan bahwa untuk sampai pada al-khair mesti diajak bukan
diperintahkan
4.
al-ma’ruf menunjukan kecenderungan kepada kebaikan yang berhubungan dengan
ketaatan dan ketundukan manusia kepada Allah. Secara konstektual penggunaan
kata al-ma’ruf dalam Alquran senantiasa berhubungan dengan persoalan dan
ketentuan yang digariskan Allah secara syar’i. Oleh sebab itu dapat
dimaklumi bila Al-Suyuthi menegaskan bahwa al-ma’ruf dan al-munkar bersifat
syar’iyah

“Diwajibkan atas kamu, apabila
seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan
harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.
5. al-mashlahah
dan almafsadah lebih cenderung kepada gambaran kebaikan yang
berhubungan dengan kebaikan-keburukan alam dan lingkungan secara umum dan menunjukkan
kebaikan bersifat amaliyah. Keterangan ke arah tersebut dapat dilihat dari
larangan berbuat kerusakan di bumi, baik secara fisik maupun pada tatanan
kehidupan secara umum. Para mufasir, disamping memaknai amal shalih dengan
sejumlah ketaatan, juga menjelaskan bagaimana peperangan, permusuhan, dan
lainnya sebagai hal yang merusak tatanan kehidupan sehingga dikategorikan
sebagai perbuatan merusak al-mafsadah di muka bumi dan harus dicegah
demi kemaslahatan.
6. al-birr,
merupakan kebaikan yang hakiki dan menggambarkan integrasi akal, perasaan,
sekaligus tuntunan syara dalam menentukan baik buruk, sehingga mencakup
sekaligus mengintegralkan seluruh kebaikan dari berbagai dimensi[3].

“ Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah
timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu
ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah
orang-orang yang bertakwa” (QS: Al-Baqarah: 177)
2.3.
Kebaikan adalah Akhlak Terpuji
Akhlak mulia
yang digambarkan alquran memberi petunjuk tentang sikap dan sifat ketundukan
manusia kepada seruan Tuhan yang diperkuat dengan kemampuan akalnya. Dengan
kata lain kebaikan akhlak adalah kebaikan yang disandarkan kepada pentunjuk
syara’ dan akal sehat manusia sekaligus.
Ibnu Miskawih menyatakan bahwa
kebaikan manusia terletak pada “berfikir” Menurut beliau kebahagian hanya akan
terjadi jika terlahir tingkah laku yang sempurna yang khas bagi alamnya
sendiri, dan bahwa manusia akan bahagia. Jika timbul dari dirinya seluruh
tingkah laku yang tepat berdasarkan pemikiran. Oleh karena itu
kebahagian manusia bertingkat–tingkat dengan jenis pemikiran dan yang
dipikirkanya.[4]
Dalam kehidupan manusia terdapat
kewajiban berbuat baik dan menghindari perbuatan jelek/buruk yang bersifat
universal dan merupakan keharusan moral, berdasarkan kodrati kemanusiaan.
Berdasarkan itu manusia mengerti segala kewajibannya sebagai perintah Tuhan.
Itulah sebetulnya bukti tentang adanya Tuhan, dan bukti itu adalah bukti yang
praktis.
Jika kebaikan merupakan dikategorikan
sebagai sebuah akhlak, Al-Ghazali mengklasifikasikan dalam tiga dimensi, yaitu:
dimensi diri, yakni orang dengan dirinya dan Tuhannya seperti ibadah dan
shalat; dimensi sosial, yakni masyarakat, pemerintah dan pergaulannya dengan
sesamanya; dan dimensi metafisis, yakni aqidah dan pegangan dasarnya. Hal ini
sejalan dengan kebaikan yang difirmankan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 177
di atas.
Ayat di atas menerangkan bahwa
kebaikan adalah, beriman kepada Allah, beriman kepada hari kemudian, beriman
tentang adanya malaikat-malaikat, beriman bahwa Allah telah menurunkan
kitab-kitab kepada rasul-rasul yang diutus-Nya, beriman kepada nabi-nabi,
mendermakan sebagian harta kepada pihak-pihak yang diarahkan Allah,
memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji
dan sabar.
Tentunya jika kita melihat ayat
tersebut, maka secara gamblang kebaikan adalah sebuah akhlak sesuai dengan yang
diklasifikasi oleh Al-Ghazali. Beriman kepada Allah. Malaikat, kitab, hari
akhir dan para rasul mewakili dari dimensi metafisis, yakni aqidah atau keyakinan.
Sedang mendermakan sebagian harta dan memerdekakan hamba sahaya adalah contoh
dari dimensi sosial. Sementara dimensi diri yang memiliki hubungan vertikal
ditunjukkan dengan perintah shalat dan zakat.
Berkaitan dengan kebaikan yang
termasuk dalam akhlak yang terpuji, Nabi Muhammad SAW memiliki definisi
tersendiri, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Nawas bin Sam’an:
قال: البر حسن الخلق والاثم ما حالك في نفسك
وكرهت ان يطلع عليه الناس
“Nabi bersabda: Kebajikan adalah akhlak yang baik dan
dosa adalah apa yang membimbangkan dalam hatimu dan kamu tidak suka orang-orang
melihatnya.”
Hadis
lain yang diceritakan oleh Wabisoh bin Ma’bad ketika menghadap Rasullulah.
فال : جئت تسأل عن البر ؟ قلت نعم, فقال : استفت
قلبك , البر ما لطمأنت اليه النفس وا
لطمأن اليه القلب والاثم ما حاك فى النفس وتردد فى الصدر وان افتاك الناس وافتوك
“ Nabi
bertanya: Apakah kamu datang untuk bertanya tentang kebajikan? Aku menjawab:
iya. Kemudian beliau bersabda: Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebajikan adalah
apa yang hatimu merasa tentram kepadanya. Sedangkan dosa adalah apa yang
membimbangkan dalam jiwa dan meragukan dalam hati, meskipun orang-orang memberi
fatwa kepadamu”[5]
Menurut Ibnu Utsaimin Al-birr ialah
kata yang menunjukkan makna kebajikan dan banyak kebajikan. Menurutnya, akhlak
yang baik artinya manusia itu luas hati, lapang dada, berhati tenang,
bermuamalah dengan baik.[6]
Dalam hadist diatas, disebutkan bahwa
takaran kebaikan dan keburukan adalah hati. Perbuatan yang baik akan berimbas
pada ketenangan hati, dan kepuasan jiwa. Sementara keburukan atau dosa
menyebabkan kegelisahan, kebimbangan dan perasaan bersalah.
Jika demikian, maka sepantasnyalah
kita sebagai seorang Muslim untuk senantiasa berbuat baik. Dengan perbuatan
baik akan mendorong pada kedamaian dan ketentraman. Tentunya hal inilah yang
akan selalu mengarahkan pada gairah positif, dalam pengertian memiliki etos
kerja yang tinggi dalam menghadapi kehidupan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Al-Qur’an memiliki banyak kajian teori
tentang kebaikan. Konsep kebaikan dalam Al-Qur’an dapat dimaknai dengan
al-husnu, al-ihsan, al-ma’ruf, al-maslahah, al-khair, al-birr dan masih
beberapa konsep lagi tentang kebaikan.
Kebaikan berdasarkan akhlak adalah
kebaikan yang disandarkan kepada pentunjuk syara’ dan akal sehat manusia
sekaligus. kebaikan manusia terletak pada “berfikir”. Kebahagian hanya akan
terjadi jika terlahir tingkah laku yang sempurna yang khas bagi alamnya
sendiri, dan bahwa manusia akan bahagia ketika timbul dari dirinya seluruh
tingkah laku yang tepat berdasarkan pemikiran.
Kebaikan dirumuskan dalam beberapa
dimensi yakni dimensi yang berkaitan dengan hablum minallah dan hablum
minan nass. Kebaikan menurut Al-Qur’an, dalam konsep al-birr, adalah beriman
kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji,
dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
3.2. Saran
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Karena itu penulis
mengharap masukan dan saran yang membangun guna sempurnanya makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Enoh. Konsep Baik dan Buruk dalam
Al-Qur’an. Mimbar Vol. 23. No. 1. 2007.
Ibrahim Huwaiti, Sayyid. Sarah
Arbain Nawawi. Jakarta: Darul Haq. 2006.
Magnis, Suseno Frans. Etika Dasar;
Masalah-masalah pokok filsafat moral. Yogyakarta: Kanisius. 1987.
Mahali, Ahmad Mudjab. Membangun
Pribadi Muslim. Yogyakarta: Menara Kudus. 2005.
Miskawin, Ibnu, Menuju Kesempurnaan Akhlaq, Bandung: Mizan. 1999.
[2] Frans Magnis
Suseno. Etika Dasa. Yogyakarta: Kanisius. 1987. hlm. 59
[3] Enoh. Konsep
Baik dan Buruk dalam Al-Qur’an. Mimbar Vol. 23. No. 1. 2007.
[4] Ibnu Miskawin, Menuju
Kesempurnaan Akhlaq, Bandung: Mizan.
1999. Hal. 42
[5] Sayyid Ibrahim
Huwaiti. Sarah Arbain Nawawi. Jakarta: Darul Haq. 2006. Hal. 253
[6] Ibid. hal. 258
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
BalasHapusSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 8 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.net
arena-domino.org
100% Memuaskan ^-^