2013/02/04
2013/01/28
PROSEDUR PENGEMBANGAN EVALUASI PEMBELAJARAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu
kegiatan evaluasi dikatakan berhasil jika sang evaluator mengikuti prosedur
dalam melaksanakan evaluasi. Prosedur disini dimaksudkan sebagai
langkah-langkah pokok yang harus ditempuh dalam melakukan evaluasi. Tentu tidak
dapat dipungkiri bahwa banyak pandangan berkaitan dengan prosedur kegiatan
evaluasi ini, namun dalam hal ini penulis akan memaparkan prosedur evaluasi
yang dikembangkan oleh Drs. Zaenal Arifin, M.Pd dalam bukunya “Evaluasi
Pembelajaran”. Dalam buku tersebut, prosedur yang harus diikuti evaluator
meliputi perencanaan evaluasi, monitoring pelaksanaan evaluasi, pengolahan data
dan analisis, pelaporan hasil evaluasi, dan pemanfaatan hasil evaluasi.[1]
Dalam
kaitannya dengan evaluasi, guru merupakan salah satu sosok evaluator yang
sangat bertanggung jawab terhadap kegiatan evaluasi itu sendiri. Sebab guru
merupakan orang yang melaksanakan proses pembelajaran. karena itu baik-buruknya
evaluasi diantaranya juga tergantung pada sang evaluator.
Dengan
demikian, sudah selayaknya evaluator ini mengikuti prosedur-prosedur yang telah
digariskan. Mengikuti prosedur yang telah ditetapkan bisa dikatakan sebagai
bentuk tanggung jawab seorang evaluator. Dengan mengikuti prosedur evaluasi
yang baik, kegiatan evaluasi dapat dipertanggung jawabkan dan memiliki arti
bagi semua pihak.
B. Identifikasi Masalah
1. Banyak
evaluator yang melakukan kegiatan evaluasi tanpa sebuah perencanaan yang
matang.
2. Jarang
ada tindak lanjut terhadap evaluasi yang telah dilakukan.
3. Belum
diikutinya prosedur dalam pengembangan evaluasi
B. Pembatasan Masalah
Dalam
makalah sederhana ini penulis akan membatasi masalah pada prosedur pengembangan
evaluasi yang dikembangkan oleh Drs. Zaenal Arifin, M.Pd dalam bukunya
“Evaluasi Pembelajaran”. Diantara prosedur tersebut adalah: perencanaan
evaluasi, pelaksanaan evaluasi dan monitoring, pengolahan data dan analisis,
pelaporan hasil evaluasi, dan pemanfaatan hasil evaluasi.
C. Rumusan Masalah
Bagaimana tahapan prosedur evaluasi
pembelajaran?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui tahapan prosedur pengembangan evaluasi
pembelajaran.
BAB II
KAJIAN
TEORI
A. Prosedur
Prosedur
dalam Wikipedia disebutkan sebagai serangkaian aksi yang spesifik atau tindakan
atau operasi yang
harus dijalankan atau dieksekusi dengan cara yang sama agar selalu memperoleh
hasil yang sama dari keadaan yang sama[2].
Lebih jauh prosedur diindikasikan sebagai rangkaian aktivitas, tugas-tugas, langkah-langkah, keputusan-keputusan,
perhitungan-perhitungan dan proses-proses, yang dijalankan melalui serangkaian pekerjaan yang
menghasilkan suatu tujuan yang diinginkan, suatu produk atau sebuah akibat. Sebuah prosedur biasanya
mengakibatkan sebuah perubahan.
Kamaruddin
menyebut prosedur sebagai suatu susunan yang teratur dari kegiatan yang
berhubungan satu sama lainnya dan prosedur-prosedur yang berkaitan melaksanakan
dan memudahkan kegiatan utama dari suatu organisasi.[3]
Berdasarkan
pendapat di atas maka dapat disimpulkan yang dimaksud dengan prosedur adalah
suatu tata cara kerja atau kegiatan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan tujuan
tertentu dan memiliki pola kerja yang sistematis
B. Pengembangan
Pengembangan
berasal dari kata dasar ‘kembang’ yang bisa diartikan tumbuh. Sementara
pengembangan dalam sebuah kamus online disebut sebagai pembangunan secara
bertahap dan teratur yg menjurus ke sasaran yg dikehendaki[4]
C. Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi
adalah kata Indonesia yang diterjemahkan dari bahasa Inggris evaluation yang
diterjemahkan menjadi penilaian.[5]
Evaluasi menurut Ramayulis mengandung dua makna, yaitu; measurenment dan
evaluation itu sendiri. Measurenment (pengukuran) merupakan proses untuk
memperoleh gambaran beberapa angka dan tingkatan ciri yang dimiliki individu.
Sedang evaluation (penilaian) merupakan proses mengumpulkan, menganalisis dan
mengintepretasikan informasi guna menetapkan keluasaan pencapaian tujuan oleh
individu.
Sementara
pembelajaran merupakan kata yang berasal dari kata dasar belajar yang berarti sebuah
proses perubahan di dalam kepribadian manusia dan perubahan tersebut
ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku
seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman,
ketrampilan, daya pikir, dan kemampuan-kemampuan yang
lain.[6]
Dengan demikian pembelajaran sendiri merupakan proses dalam melakukan perubahan
yang dilakukan oleh perubah dan yang akan dirubah. Dengan kata lain
pembelajaran adalah proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dan
peserta didik. Tujuan pembelajaran menggambarkan kemampuan atau tingkat
penguasaan yang diharapkan dicapai oleh siswa setelah mereka mengikuti suatu
proses pembelajaran.[7]
Dengan
demikian evaluasi pembelajaran adalah penilaian terhadap kompetensi yang sudah
dicapai oleh peserta didik setelah melakukan proses belajar mengajar.[8]
Evaluasi pembelajaran sebagai tolak ukur keberhasilan proses belajar mengajar.
Dalam
buku ‘Strategi Belajar Mengajar’, Taufik menyebut indikator keberhasilan
belajar mengajar adalah:
1.
Daya serap terhadap materi yang diajarkan
mencapai prestasi tinggi, baik secara individu maupun kelompok.
2.
Perilaku yang digariskan oleh SK dan KD telah
dicapai oleh peserta didik baik individu maupun klasikal.[9]
BAB III
METODE
PENELITIAN
A. Jenis
Penelitian
Penelitian
ini termasuk jenis penelitian kualitatif, yang model penelitiannya bersifat
analitis dan deskriptis. Penelitian kualitatif sendiri merupakan penelitian
yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisa fenomena, peristiwa,
aktifitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individu
ataupun kelompok.
B. Pendekatan Penelitian
Penelitian
ini bersifat library research atau study kepustakaan dengan pendekatan
deskriptif analitis, yaitu suatu pendekatan yang hanya bersifat menganalisa dan
menggambarkan saja tanpa mengadakan perhitungan data yang kuantitatif.
C. Sumber Data
Sumber
data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan literature yang berkaitan
dengan teori data primer.
Sesuai
dengan konsepsi awal bahwa variabel adalah yang menjadi titik perhatian dalam
sebuah penelitian. Jadi yang menjadi titik perhatian dalam penelitian ini
adalah Prosedur Pengembangan Evaluasi Pembelajaran
D. Metode
Pengumpulan Data
Metode
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumenter,
yakni pengumpulan data melalui catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
leger, agenda dan lain-lain.
E. Teknik Analisis Data
Setelah
data terkumpul maka dilakukan analisa. Karena penelitian ini bersifat
kualitatif, maka ada beberapa metode yang bisa digunakan untuk menganalisa
data-data tersebut, yaitu:
1.
Metode deduktif; cara berpikir dengan
menggunakan analisa yang berpijak pada pengertian atau fakta-fakta yang
bersifat umum yang kemudian diteliti dan hasilnya dapat memecahkan persoalan
khusus.
2.
Metode Induktif; cara berpikir dengan
menggunakan analisa yang berpijak pada pengertian atau fakta-fakta yang
bersifat khusus yang kemudian diteliti dan hasilnya dapat memecahkan persoalan
umum.
BAB IV
PEMBAHASAN
A.
Prosedur Pengembangan Evaluasi Pembelajaran
Sebagaimana
yang diutarakan dalam pendahuluan diatas, bahwa seorang evaluator dalam
melakukan kegiatan evaluasi harus mengikuti prosedur-prosedur yang digariskan.
Tujuannya adalah agar evaluasi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan,
sistematis, efisien dan dapat dipertanggung jawabkan. Diantara prosedur
tersebut adalah; perencanaan evaluasi, monitoring pelaksanaan evaluasi,
pengolahan data dan analisis, pelaporan hasil evaluasi, dan pemanfaatan hasil
evaluasi.[10]
1. Perencanaan Evaluasi.
Perencanaan
evaluasi dimaksudkan agar hasil yang diperoleh dari evaluasi dapat lebih
maksimal. Perencanaan ini penting bahkan mempengaruhi prosedur evaluasi secara
menyeluruh. Perencanaan evaluasi dilakukan untuk memfasilitasi pengumpulan
data, sehingga memungkinkan membuat pernyataan yang valid tentang pengaruh
sebuah efek atau yang muncul di luar program, praktik, atau kebijakan yang di
teliti. Kegunaan dari perencanaan evaluasi adalah : (1) perencanaan evaluasi
membantu untuk mengetahui apakah standar dalam menyatakan sikap atau
perilaku telah mencapai sasaran atau tidak, jika demikian sasaran akan
dinyatakan ambigu dan akan kesulitan merancang tes untuk mengukur prestasi
siswa; (2) perencanaan evaluasi adalah proses awal yang dipersiapkan untuk
mengumpulkan informasi yang tersedia; (3) rencana evaluasi
menyediakan waktu yang cukup untuk mendesain tes.
Untuk
merancang sebuah tes yang baik memerlukan persiapan yang cermat dan kualitas
tes biasanya lebih baik jika dirancang dengan cara tidak tergesa-gesa;
Implikasinya adalah perencanaan evaluasi harus dirumuskan secara jelas dan
spesifik, terurai dan komprehensif sehingga perencanaan tersebut bermakna dalam
menentukan langkah-langkah selanjutnya dalam menetapkan tujuan-tujuan tingkah
laku (behavioral objective) atau indikator yang akan dicapai, dapat
mempersiapkan pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan serta dapat
menggunakan waktu yang tepat.
Dalam
melakukan perencanaan evaluasi, hal-hal yang patut diperhatikan adalah sebagai
berikut:
1) Analisis Kebutuhan.
Adalah
suatu proses yang dilakukan oleh seseorang untuk mengidentifikasi kebutuhan dan
menentukan skala prioritas pemecahannya. Analisis kebutuhan merupakan bagian
integral dari sistem pembelajaran secara keseluruhan, yang dapat digunakan
untuk menyelesaiakan masalah-masalah pembelajaran. langkah-langkah yang
dilakukan adalah mengindentifikasi dan mengklarifikasi masalah, mengajukan
hipotesis, mengumpulkan data, analisa data dan kesimpulan.
2) Menentukan Tujuan Penilaian.
Tujuan
penilaian merupakan dasar untuk menentukan arah, ruang lingkup materi,
jenis/model dan karakter alat penilaian. Ada empat kemungkinan tujuan penilain
: (1) penilaian formatif, yaitu untuk memperbaiki kinerja atau proses
pembelajaran; (2) penialian sumatif, yaitu untuk menentukan keberhasilan
peserta didik; (3) penialian diagnostik, yaitu untuk mengidentifikasi kesulitan
belajar peserta didik dalam proses pembelajaran; (4) penilaian penempatan,
yaitu untuk menempatkan posisi peserta didik sesuai dengan kemampuannya.
3) Mengidentifikasi Kompetensi dan Hasil Belajar.
Bertujuan
untuk mengidentifikasi kompetensi yang akan diuji sesuai dengan standar
kompetensi, kompetensi dasar, hasil belajar dan indikator yang terbagi dalam
tiga domain (1) domain kognitif meliputi: pengetahuan, pemahaman, aplikasi,
analisis, sisnteis dan evaluasi; (2) domain afektif meliputi: penerimaan,
respons, penilaian, organisasi, kakaterisasi; (3) domaian psikomotor meliputi:
persepsi, kesiapan melakukan pekerjaan, respon terbimbing, kemahiran, adaptasi
dan orijinasi
4) Menyusun Kisi-Kisi.
Kisi-kisi
adalah format pemetaan soal yang menggambarkan distribusi item untuk berbagai
topik atau pokok bahasan berdasarkan jenjang kemampuan tertentu yang berfungsi
sebagai pedoman untuk menulis soal atau merakit soal menjadi perangkat tes.
Kisi-kisi yang baik akan memperoleh perangkat soal yang relatif sama sekalipun
penulis soalnya berbeda. Kisi-kisi penting dalam perencanaan penilaian hasil
belajar karena di dalamnya terdapat sejumlah indikator sebagai acuan dalam
mengembangkan instrumen (soal) dengan persyaratan (1) representatif, yaitu
harus betul-betul mewakili isi kurikulum sebagai sampel perilaku yang akan di
nilai; (2) komponen-komponennya harus terurai/terperinci, jelas, dan mudah
dipahami; (3) soalnya dapat dibuat sesuai dengan indikator dan bentuk soal yang
diterapkan. Manfaat dari indikator dalam kisi-kisi adalah (1) dapat memilih
materi, metode, media dan sumber belajar yang tepat, sesuai dengan kompetensi
yang telah di tetapkan; (2) sebagai pedoman dan pegangan untuk menyusun soal
atau isntrumen penilaian lain yang tepat, sesuai dengan standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang telah di tetapkan. Dalam menyusun kisi-kisi harus
memperhatikan domain hasil belajar yang akan diukur dengan sistematika : (1)
aspek recall, yang berkenaan dengan aspek-aspek pengetahuan tentang
istilah-istilah, definisi, fakta, konsep, metode dan prinsip-prinsip; (2) aspek
komprehensif, yaitu berkenaan dengan kemampuan-kemampuan antara lain:
menjelaskan, menyimpulkan suatu informasi, menafsirkan fakta (grafik, diagram,
tabel, dan lain-lain), mentransfer pernyataan dari suatu bentuk ke dalam bentuk
lain (pernyataan verbal ke non-verbal atau dari verbal ke dalam bentuk rumus),
memprakirakan akibat atau konsekuensi logis dari suatu situasi; (3) aspek aplikasi
yang meliputi kemampuan-kemampuan antara lain: menerapkan hukum/prinsip/teori
dalam suasana sesungguhnya, memecahkan masalah, membuat (grafik, diagram dan
lain-lain), mendemonstrasikan penggunaan suatu metode, prosedur dan lain-lain.
5)
Mengembangkan
Draft.
Draft
instrumen merupakan penjabaran indikator menjadi pertanyaan-pertanyaan yang
karakteristiknya sesuai dengan pedoman kisi-kisi. Setiap pertanyaan harus jelas
dan terfokus serta menggunakan bahasa yang efektif, baik bentuk pertanyaan
maupun bentuk jawabannya. Kualitas butir soal akan menentukan kualitas tes
secara keseluruhan. Dengan prosedur soal yang disusun ditelaah oleh tim ahli
yang terdiri dari ahli bahasa, ahli bidang studi, ahli kurikulum dan ahli
evaluasi. Untuk draft dalam bentuk non-tes dapat dibuat dalam bentuk angket,
pedoman observasi, pedoman wawancara, studi dokumentasi, skala sikap, penilaian
bakat, minat dan sebagainya.
6) Uji Coba dan Analisis Soal.
Bertujuan untuk mengetahui soal-soal mana yang
perlu diubah, diperbaiki, bahkan dibuang sama sekali, serta soal mana yang baik
untuk diperguankan selanjutnya. Soal yang baik adalah soal yang sudah mengalami
beberapa kali uji coba dan revisi yang didasarkan atas: (1) analisis empiris,
yang dimaksudkan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan setiap soal yang
digunakan. Informasi empiris pada umumnya menyangkut segala hal yang dapat
memengaruhi validitas soal meliputi: aspek-aspek keterbacaan soal, tingkat
kesukaran soal, bentuk jawaban, daya pembeda soal, pengaruh kultur, dan
sebagainya; (2) analisis rasional, yang dimaksudkan untuk memperbaiki
kelemahan-kelemahan setiap soal. Kedua analisis tersebut dilakukan pula
terhadap instrumen evaluasi dalam bentuk nontes.
7) Revisi dan Merakit Soal (Instrumen Baru).
Soal
yang sudah di uji coba dan di analisis, direvisi kembali sesuai dengan proporsi
tingkat kesukaran soal dan daya pembeda. Dengan demikian, ada soal yang masih
dapat diperbaiki dari segi bahasa, atau direvisi total, baik menyangkut pokok
soal (stem) maupun alternatif jawaban (option) yang kemudian
dilakukan perakitan soal menjadi suatu instrumen yang terpadu dengan
memperhatikan validitas skor tes, nomor urut soal, pengelompokkan bentuk soal,
penataan soal dan sebagainya.
2. Pelaksanaan Evaluasi.
Pelaksanaan
evaluasi artinya bagaimana cara melaksanakan suatu evaluasi sesuai dengan
perencanaan evaluasi. Dengan kata lain tujuan evaluasi, model dan jenis
evaluasi, objek evaluasi, instrumen evaluasi, sumber data, semuanya sudah
dipersiapkan pada tahap perencanaan evaluasi yang pelaksanaannya bergantung
pada jenis evaluasi yang digunakan. Jenis evaluasi yang digunakan akan mempengaruhi
seorang evaluator dalam menentukan prosedur, metode, instrumen, waktu
pelaksanaan, sumber data dan sebagainya, yang pelaksanaannya dapat dilakukan
dengan :
a)
Non-tes yang dimaksudkan untuk mengetahui
perubahan sikap dan tingkah laku peserta didik setelah mengikuti proses
pembelajaran, pendapat terhadap kegiatan pembelajaran, kesulitan belajar, minat
belajar, motivasi belajar dan mengajar dan sebagainya. Instrumen yang digunakan
(1) angket; (2) pedoman observasi; (3) pedoman wawancara; (4) skala sikap; (5)
skala minat; (6) daftar chek; (7) rating scale; (8) anecdotal records;
(9) sosiometri; (10) home visit
b)
Untuk mengetahui tingkat penguasaan kompetensi
menggunakan bentuk tes pensil dan kertas (paper and pencil test) dan
bentuk penilaian kinerja (performance), memberikan tugas atau proyek dan
menganalisis hasil kerja dalam bentuk portofolio.
Tujuannya
adalah untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai keseluruhan aspek
kepribadian dan prestasi belajar peserta didik yang meliputi (1) data pribadi
(personal) yang meliputi nama, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin,
golongan darah, alamat dan lain-lain; (2) data tentang kesehatan yang meliputi
pengelihatan, pendengaran, penyakit yang sering diderita dan kondisi fisik; (3)
data tentang prestasi belajar (achievement) di sekolah; (4) data tentang
sikap (attitude) meliputi sikap terhadap teman sebaya, sikap terhadap
kegiatan pembelajaran, sikap terhadap pendidik dan lembaga pendidikan dan sikap
terhadap lingkungan sosial; (5) data tentang bakat (aptitude) yang
meliputi data tentang bakat di bidang olahraga, keterampilan mekanis,
keterampilan manajemen, kesenian dan keguruan; (6) persoalan penyesuaian (adjustment)
meliputi kegiatan dalam organisasi di sekolah, forum ilmiah, olahraga dan
kepanduan; (7) data tentang minat (interest); (8) data tentang rencana
masa depan yang dibantu oleh pendidik, orang tua sesuai dengan kesanggupan
peserta didik; (9) data tentang latar belakang yang meliputi latar belakang
keluarga, pekerjaan orang tua, penghasilan tiap bulan, kondisi lingkungan,
serta hubungan dengan orang tua dan saudara-saudaranya.
Sedangkan
kecenderungan evaluasi yang tidak memuaskan dapat ditinjau dari beberapa segi
(1) proses dan hasil evaluasi kurang memberi keuntungan bagi peserta didik,
baik secara langsung maupun tidak langsung; (2) penggunaan teknik dan prosedur
evaluasi kurang tepat berdasarkan apa yang sudah dipelajari peserta didik; (3)
prinsip-prinsip umum evaluasi kurang dipertimbangkan dan pemberian skor
cenderung tidak adil; (4) cakupan evaluasi kurang memperhatikan aspek-aspek
penting dari pembelajaran.
3. Monitoring Pelaksanaan Evaluasi.
Monitoring
dilakukan untuk melihat apakah pelaksanaan evaluasi pembelajaran telah sesuai
dengan perencanaan evaluasi yang telah ditetapkan atau belum, dengan tujuan
untuk mencegah hal-hal negatif dan meningkatkan efisiensi pelaksanaan evaluasi.
Monitoring mempunyai dua fungsi pokok (1) melihat relevansi pelaksanaan
evaluasi dengan perencaan evaluasi; (2) melihat hal-hal apa yang terjadi selama
pelaksanaan evaluasi dengan mencatat, melaporkan dan menganalisis faktor-faktor
penyebabnya. Dalam pelaksanaannya dapat digunakan teknik (1) observasi
partisipatif; (2) wawancara bebas atau terstruktur; (3) studi dekumentasi.
Hasil dari monitoring dapat dijadikan landasan dan acuan untuk memperbaiki
pelaksanaan evaluasi selanjutnya.
4. Pengolahan Data.
Mengolah
data berarti mengubah wujud data yang sudah dikumpulkan menjadi sebuah sajian
data yang menarik dan bermakna. Data hasil evaluasi yang berbentuk kualitatif
diolah dan dianalisis secara kualitatif, sedangkan data hasil evaluasi yang
berbentuk kuantitatif diolah dan dianalisis dengan bantuan statistika
deskriptif maupun statistika inferensial. Ada empat langkah pokok dalam
mengolah hasil penelitian :
1) Menskor,
yaitu memberikan skor pada hasil evaluasi yang dapat dicapai oleh perserta
didik. Untuk menskor atau memberikan angka diperlukan tiga jenis alat bantu
yaitu kunci jawaban, kunci skoring dan pedoman konversi
2) Mengubah
skor mentah menjadi skor standar dengan norma tertentu
3) Mengkonversikan
skor standar ke dalam nilai, baik berupa huruf atau angka
4) Melakukan
analisis soal (jika diperlukan) untuk mengatahui derajat validitas dan
reliabilitas soal, tingkat kesukaran sola (difficulty index) dan
daya pembeda
Mengolah
data dengan sendirinya akan menafsirkan hasil pengolahan itu. Memberikan
interpretasi maksudnya adalah memberikan pernyataan (statement) mengenai
hasil pengolahan data. Interpretasi terhadap suatu hasil evaluasi didasarkan
atas kriteria tertentu yang ditetapkan terlebih dahulu secara rasional dan
sistematis sebelum kegiatan evaluasi dilaksanakan, tetapi dapat pula dibuat
berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh dalam melaksanakan evaluasi. Sebaliknya
jika penafsiran data tidak berdasarkan kriteria atau norma tertentu, maka ini
termasuk kesalahan besar dan ada dua jenis penafsiran data :
1) Penafsiran kelompok,
yaitu penafsiran yang dilakukan untuk
mengetahui karakteristik kelompok berdasarkan data hasil evaluasi yang meliputi
prestasi kelompok, rata-rata kelompok, sikap kelompok terhadap pendidik dan
materi yang diberikan, dan distribusi nilai kelompok. Tujuannya adalah sebagai
persiapan untuk melakukan penafsiran kelompok, untuk mengetahui sifat-sifat
tertentu pada suatu kelompok dan untuk menggandakan perbandingan
antarkelompok.
2) Penafsiran individual,
yaitu penafsiran yang hanya dilakukan
secara perseorangan diantaranya bimbingan dan penyluhan atau situasi klinis
lainnya. Tujuannya adalah untuk melihat tingkat kesiapan peserta didik (readiness),
pertumbuhan fisik, kemajuan belajar dan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.
Dengan
penafsiran ini dapat diputuskan bahwa peserta didik mencapai taraf
kesiapan yang memadai atau tidak, ada kemajuan yang berarti atau tidak, ada
kesulitan atau tidak.
5. Pelaporan Hasil Evaluasi.
Laporan
kemajuan belajar peserta didik merupakan sarana komunikasi antara sekolah,
peserta didik dan orang tua dalam upaya mengembangkan dan menjaga hubungan
kerja sama yang harmonis, oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan (1) konsisten dengan pelaksanaan nilai di sekolah; (2) memuat
perincian hasil belajar peserta didik beradasarkan kriteria yang telah
ditentukan dan dikaitkan dengan penilaian yang bermanfaat bagi perkembangan
peserta didik; (3) menjamin orang tua akan informasi permasalahan peserta didik
dalam belajar; (4) mengandung berbagai cara dan strategi berkomunikasi; (5)
memberikan informasi yang benar, jelas, komprehensif dan akurat. Laporan
kemajuan dapat dikategorikan menjadi dua jenis (1) laporan prestasi mata
pelajaran, yang berisi informasi tentang pencapaian komptensi dasar yang telah
ditetapkan dalam kurikulum. Prestasi peserta didik dilaporkan dalam bentuk
angka yang menunjukkan penguasaan komptensi dan tingkat penguasaannya; (2)
laporan pencapaian, yang menggambarkan kualitas pribadi peserta didik sebagai
internalisasi dan kristalisasi setelah peserta didik belajar melalui berbagai
kegiatan, baik intra, ekstra dan ko kurikuler.
6. Penggunaan Hasil Evaluasi.
Salah
satu pengguanan hasil evaluasi adalah laporan. Laporan yang dimaksudkan untuk
memberikan feedback kepada semua pihak yang terlibat dalam pembelajaran,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara umum terdapat lima
penggunaan hasil evaluasi untuk keperluan berikut
1) Laporan
Pertanggungjawaban, dengan asumsi banyak pihak yang berkepentingan terhadap
hasil evaluasi, oleh karena itu laporan ke berbagai pihak sebagai bentuk
akuntabilitas publik
2) Seleksi,
dengan asumsi setiap awal dan akhir tahun terdapat peserta didik yang masuk
sekolah dan menamatkan sekolah pada jenjang pendidikan tertentu dimana hasil
evaluasi dapat digunakan untuk menyeleksi baik ketika masuk sekolah/jenjang
atau jenis pendidikan tertentu, selama mengikuti program pendidikan, pada saat
mau menyelesaikan jenjang pendidikan, maupun ketika masuk dunia kerja
3) Promosi,
dengan asumsi prestasi yang diperoleh akan diberikan ijazah atau sertifikat
sebagai bukti fisik setelah dilakukan kegiatan evaluasi dengan kriteria
tertentu baik aspek ketercapaian komptensi dasar, perilaku dan kinerja peserta
didik.
4) Diagnosis,
dengan asumsi hasil evaluasi menunjukkan ada peserta didik yang kurang mampu
menguasai kompetensi sesuai dengan kriteria yang yang telah ditetapkan maka
perlu dilakukan diagnosis untuk mencari faktor-faktor penyebab bagi peserta
didik yang kurang mampu dalam menguasai komptensi tertentu sehingga diberikan
bimbingan atau pembelajaran remedial. Bagi yang telah menguasai kompetensi
lebih cepat dari peserta didik yang lain, mereka juga berhak mendapatkan
pelayanan tindak lanjut untuk mengoptimalkan laju perkembangan mereka.
5) Memprediksi
Masa Depan Peserta Didik, tujuannya adalah untuk mengetahui sikap, bakat, minat
dan aspek-aspek kepribadian lainnya dari peserta didik, serta dalam hal apa
peserta didik diangap paling menonjol sesuai dengan indikator keunggulan, agar
dapat dianalisis dan dijadikan dasar untuk pengembangan peserta didik dalam memilih
jenjang pendidikan atau karier pada masa yang akan datang
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Prosedur
pengembangan evaluasi pembelajaran merupakan langkah-langkah yang harus diikuti
oleh seorang evaluator atau tim evaluator dalam melakukan kegiatan evaluasi. Prosedur-prosedur
tersebut adalah; perencanaan evaluasi, monitoring pelaksanaan evaluasi,
pengolahan data dan analisis, pelaporan hasil evaluasi, dan pemanfaatan hasil
evaluasi.
B. Saran
Dengan
mengetahui tentang langkah-langkah yang harus dilakukan dalam melakukan
kegiatan evaluasi, diharapkan para guru atau yang menjadi evaluator untuk
senantiasa mengikuti prosedur pengembangan evaluasi pembelajaran. Dengan
prosedur yang sudah ditetapkan akan melahirkan kualitas evaluasi yang dapat
mendorong mutu pendidikan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainal. Evaluasi Pembelajaran.
Bandung: Remaja Rosdakarya. 2011.
http://alisadikinwear.wordpress.com/2011/10/20/prosedur-pengembangan-evaluasi-pembelajaran/
http://belajar.ws/pengertian-belajar-dan-definisi-belajar.html
http://fandyjayanto.blogspot.com/2012/11/pengembangan-evaluasi-pembelajaran.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Prosedur
http://www.artikata.com/arti-367883-pengembangan.html
http://www.sarjanaku.com/2012/11/pengertian-pembelajaran-menurut-para.html
Kamaruddin. Organisasi dan Kepemimpinan.
Jakarta: Mutiara Hati. 1992.
Ramayulis. Metodologi Pendidikan Agama Islam.
Jakarta: Kalam Mulia. 2008.
Taufik. Strategi Belajar Mengajar.
Jakarta: Inti Prima. 2010.
[1] Zainal
Arifin, Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2011. hal. 88
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Prosedur
[3]
Kamaruddin. Organisasi dan Kepemimpinan. Jakarta: Mutiara Hati. 1992.
hal. 32
[4] http://www.artikata.com/arti-367883-pengembangan.html
[5]
Ramayulis. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
2008. hal. 400
[6] http://belajar.ws/pengertian-belajar-dan-definisi-belajar.html
[7] http://www.sarjanaku.com/2012/11/pengertian-pembelajaran-menurut-para.html
[8]
Ramayulis. Metodologi Pendidikan Agama Islam. hal. 400
[9] Taufik.
Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Inti Prima. 2010. hal. 91
[10] Zainal
Arifin, Evaluasi Pembelajaran. Bandung. hal. 88
2013/01/09
POSISI PENDIDIKAN AGAMA DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Persoalan pendidikan
merupakan persoalan yang tidak pernah berhenti dibincangkan, sebab pendidikan
erat kaitannya dengan persoalan manusia dalam rangka memberi makna dan arah
normal kepada eksistensi dirinya. Pendidikan juga bisa dikatakan suatu proses
budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, dan berlangsung
sepanjang hayat, yang dilaksanakan di lingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara
keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pendidikan dalam proses mencapai tujuannya
perlu dikelola dalam suatu sistem terpadu dan serasi.
Dalam kaitannya
dengan nilai kebangsaan, pendidikan diartikan sebagai perjuangan bangsa, yaitu
pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pada
Pancasila dan UUD 1945, yang dalam pelaksanaannya diatur dalam sistem
pendidikan nasional.
Sebagaimana termaktub
dalam Undang-Undang Dasar 1945, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini berarti bahwa tujuan akhir pendidikan
nasional adalah mencipta manusia Indonesia seutuhnya atau yang dalam bahasa
agamanya disebut insan kamil, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian mantap dan mandiri
serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Berkenaan dengan
tujuan pendidikan nasional tersebut, Pendidikan agama mempunyai peran penting
dalam mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, akhlak mulia dan kepribadian. Karena itu dalam undang-undang
sisdiknas 2003, pendidikan agama sebagai sumber nilai dan bagian dari
pendidikan nasional.
1.2.
Rumusan masalah
1. Apakah pengertian
pendidikan, pendidikan agama dan pendidikan nasional?
2. Bagaimana gambaran sistem
pendidikan agama (islam) di Indonesia?
3. Bagaimana posisi
pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional?
1.3. Tujuan
penulisan
1. Untuk
mengetahui pengertian pendidikan, pendidikan agama dan pendidikan nasional.
2. Untuk
melihat gambaran pendidikan agama islam di Indonesia.
3. Untuk
mengetahui posisi pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian pendidikan,
pendidikan agama dan pendidikan nasional
Ahmad D. Marimba
memaknai pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik
terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama.[1]
Marimba pun merumuskan lima unsur utama dalam pendidikan, yaitu; 1) Usaha yang
bersifat bimbingan, pertolongan, atau pimpinan yang dilakukan secara sadar. 2)
Ada pendidik, pembimbing atau penolong. 3) Ada yang di didik atau peserta
didik. 4) Adanya dasar atau tujuan dalam bimbingan tersebut. 5) Adanya alat
yang digunakan dalam usaha tersebut.
Soeganda
Poerbakawatja lebih umum mengartikan pendidikan sebagai upaya dan perbuatan
generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya dan
keterampilannya kepada generasi muda untuk melakukan fungsi hidupnya dalam
pergaulan bersama sebaik-baiknya.[2]
Sedangkan Abuddin
Nata menyimpulkan pendidikan merupakan kegiatan yang dilakukan dengan sengaja,
seksama, terencana dan bertujuan yang dilaksanakan oleh orang dewasa dalam arti
memiliki bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan menyampaikannya kepada secara
bertahap.[3]
Sementara pendidikan
agama sebagaimana penjelasan Zakiyah
Darajat, dalam hal ini agama islam, adalah pembentukan kepribadian muslim atau perubahan sikap dan
tingkah laku sesuai dengan petunjuk ajaran
Islam.[4] Muhammad Qutb,
sebagaimana dikutip Abdullah Idi dan Toto Suharto, memaknai pendidikan Islam
sebagai usaha melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, baik
dari segi jasmani maupun ruhani, baik dari kehidupan fisik maupun mentalnya,
dalam kegiatan di bumi ini.[5]
Jadi tujuan akhir pendidikan Islam adalah pembentukkan tingkah laku islami (akhlak
mulia) dan kepasrahan (keimanan) kepada Allah berdasarkan pada petunjuk
ajaran Islam (Al-Qur’an dan Hadis). Dengan kata lain tujuan akhir pendidikan Muslim
terletak pada realitas kepasrahan
mutlak kepada Allah pada tingkat individual, masyarakat, dan kemanusian
pada umumnya
Berkenaan dengan
pendidikan nasional, sepertinya pendapat Ki Hajar Dewantoro, yang disunting
oleh Abuddin Nata, sudah bisa mewakili. Ia berpendapat bahwa pendidikan
nasional adalah pendidikan yang beralaskan garis hidup dari bangsanya dan
ditujukan untuk keperluan prikehidupan yang dapat mengangkat derajat Negara dan
rakyatnya agar dapat bekerjasama dengan bangsa lain untuk kemuliaan segenap
manusia di muka bumi.[6]
Lebih lanjut, Ki
Hajar menyoroti pendidikan sebagai upaya memelihara hidup tumbuh ke arah
kemajuan. Pendidikan menurutnya adalah usaha kebudayaan berasaskan peradapan,
yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.
Sementara dalam pembukaan Undang-undang Dasar
1945 dijelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dengan demikian maka tujuan pendidikan yang hendak dicapaipun disesuaikan
dengan kepentingan bangsa Indonesia, yang sekarang ini tujuan pendidikan
tersebut dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UU sisdiknas). Dalam salah satu bab diterangkan Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
2.2. Gambaran Sistem Pendidikan Agama Islam di
Indonesia
Ketika kita
membicarakan sistem pendidikan agama islam di Indonesia, maka kita tidak bisa
lepas dari sejarah perkembangan islam di Indonesia itu sendiri.
Pada awal
perkembangan islam di Indonesia, pendidikan agama diberikan dalam bentuk
informal. Para pembawa islam, yaitu saudagar dari Gujarat, menyiarkan dan
memberi pendidikan agama melalui orang-orang yang membeli dagangannya.
Pendidikan yang diberikan lebih mengutama melalui contoh teladan. Mereka
berlaku sopan santun, ramah tamah, tulus ihlas, amanah, jujur, adil serta
pemurah. Dengan demikian, banyak masyarakat yang tertarik dan mengikutinya.
Setelah tersebarnya
islam melalui pendidikan informal ini, pendidikan islam sudah mulai mencari
lahan khusus sebagai tempat pendidikan. Surau, langgar atau mushalla dan masjid
adalah tempat memberikan pengajaran diluar pendidikan keluarga. Tujuan para
pendidik hanya untuk bisa memberikan ilmunya kepada peserta didik tanpa ada
imbalan apapun. Pendidikan diberikan dengan sangat sederhana dan inilah yang
menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pesantren dan pendidikan islam
yang formal dalam bentuk madrasah.
Sejalan dengan
perkembangan zaman dan pergeseran kekuasaan di Indonesia, pendidikan islam juga
mengalami perubahan. Pendidikan islam mulai bersentuhan dengan sistem
pendidikan formal yang lebih sistematis dan teratur. Tentunya perubahan ini
juga berpengaruh terhadap arah tujuan pendidikan islam itu sendiri, yang
sebelumnya hanya mengkaji ilmu-ilmu pokok agama meningkat meningkat kepada
kajian ilmu yang lain.
Usaha pembaharuan
pendidikan islam dapat kita lihat dengan bergesernya pendidikan surau, langgar,
masjid, mushalla kepada pendidikan madrasah, pondok pesantren atau
lembaga-lembaga yang berdasarkan keagamaan. Dalam pendidikan ini, sistem
klasikal mulai diterapkan. Bangku, meja dan papan tulis mulai digunakan dalam
melaksanakan pendidikan dan pengajaran agama islam.
Madrasah Adabiyah di
Padang merupakan contoh evolusi pendidikan islam, dari tradisional ke modern.
Madrasah Adabiyah, didirikan oleh Syaikh Abdullah Ahmad pada 1909, merupakan
pendidikan islam pertama kali di Indonesia yang menerapkan sistem klasikal
lengkap dengan sarana dan prasarananya. Selain ilmu agama, Al-qur’an sebagai
pelajaran wajib, juga diajarkan pengetahuan umum.[7]
Dalam perkembangannya
madrasah terbagi atas madrasah diniyah, khusus mengajarkan ilmu agama,
dan madrasah umum yang juga memasukkan ilmu umum di samping ilmu agama. Untuk
tingkat dasar disebut madrasah ibtida’iyyah, tingkat menengah disebut madrasah
tsanawiyyah, dan tingkat menengah atas disebut madrasah aliyah.
Seiring dengan
meningkatnya kebutuhan pendidikan dan pengajaran agama islam, maka muncul pula
lembaga pendidikan formal yang berdasarkan keagamaan seperti SD Islam, SMP
Islam, SMA Islam dan bahkan pendidikan agama juga telah masuk dalam kurikulum
pendidikan umum negeri.
2.3. Posisi Pendidikan Agama
dalam Sistem Pendidikan Nasional
Undang-undang sistem pendidikan nasional
no.20 tahun 2003 bab I tentang ketentuan umum menyebutkan, bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan Negara.
Sedangkan pendidikan nasional dalam
undang-undang tersebut diartikan sebagai pendidikan yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada
nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman. Sementara sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan
komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional.
Yang dimaksud dengan tujuan pendidikan
nasional dalam sisdiknas adalah berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab.[8]
Dari pengertian pendidikan, pendidikan
nasional, sistem pendidikan nasional dan tujuan pendidikan nasional, sangat
kental nuansa nilai-nilai agamanya. Pada beberapa bab lainnya juga sangat
tampak bahwa kata agama dan nilai-nilai agama kerap mengikutinya. Misalnya,
dalam bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan disebutkan bahwa
pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,
nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Begitupula dalam bab IX tentang
kurikulum, bahwa dalam penyusunannya diantaranya harus memperhatikan peningkatan
iman dan takwa serta peningkatan ahlak mulia.
Dari rumusan diatas menunjukkan bahwa agama
menduduki posisi yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dalam membangun
manusia Indonesia seutuhnya. Hal yang wajar jika pendidikan nasional
berlandaskan pada nilai-nilai agama, sebab bangsa Indonesia merupakan bangsa
yang beragama. Agama bagi bangsa Indonesia adalah modal dasar yang menjadi
penggerak dalam kehidupan berbangsa. Agama mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam dan
hubungan manusia dengan diri sendiri. Dengan demikian terjadilah keserasian dan
keseimbangan dalam hidup manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat.
Jika hal tersebut dipahami, diyakini dan
diamalkan oleh manusia Indonesia dan menjadi dasar kepribadian, maka manusia
Indonesia akan menjadi manusia yang paripurna atau insan kamil. Dengan dasar
inilah agama menjadi bagian terpenting dari pendidikan nasional yang berkenaan
dengan aspek pembinaan sikap, moral, kepribadian dan nilai-nilai ahlakul
karimah.
Sejalan dengan hal tersebut, Prof. Mastuhu
mengungkapkan bahwa pendidikan islam di Indonesia harus benar-benar mampu
menempatkan dirinya sebagai suplemen dan komplemen bagi pendidikan nasional,
sehingga sistem pendidikan nasional mampu membawa cita-cita nasional, yakni
bangsa Indonesia yang modern dengan tetap berwajah iman dan takwa.[9]
Tidak jauh beda dengan pendapat Mastuhu, guru
besar Ilmu Pendidikan Islam Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, DR. Ahmadi yang dikutip oleh Endin Surya
Solehudin, menyebutkan bahwa implikasi dari pemaknaan pendidikan Islam adalah
reposisi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Mengenai reposisi
pendidikan islam dalam pendidikan nasional, Ahmadi mengemukakan tiga alasan,
pertama, nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila sebagai dasar pendidikan tidak bertentangan dengan nilai-nilai
Islam (Tauhid); kedua, pandangan terhadap manusia sebagai makhluk
jasmani-rohani yang berpotensi untuk menjadi manusia bermartabat (makhluk
paling mulia); ketiga, pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi (fitrah
dan sumber daya manusia) menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berbudi pekerti luhur (akhlak mulia), dan memiliki kemampuan untuk
memikul tanggung jawab sebagai individu dan anggota masyarakat.[10]
Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada
posisi konsep. Ditinjau dari tataran universalitas konsep Pendidikan Islam
lebih universal karena tidak dibatasi negara dan bangsa, tetapi ditinjau dari
posisinya dalam konteks nasional, konsep pendidikan Islam menjadi subsistem
pendidikan nasional. Karena posisinya sebagai subsistem, kadangkala dalam
penyelenggaraan pendidikan hanya diposisikan sebagai suplemen. Mengingat bahwa secara
filosofis (ontologis dan aksiologis) pendidikan Islam relevan dan merupakan
bagian integral dari sistem pendidikan nasional, bahkan secara sosiologis
pendidikan Islam merupakan aset nasional, maka posisi pendidikan Islam sebagai
subsistem pendidikan nasional bukan sekadar berfungsi sebagai suplemen, tetapi
sebagai komponen substansial. Artinya, pendidikan Islam merupakan komponen yang
sangat menentukan perjalanan pendidikan nasional.
Terlepas dari nilai-nilai agama yang menjadi
dasar dari pendidikan nasional, pendidikan agama sempat menjadi masalah ketika
masuk dalam sistem pendidikan nasional. Persoalan yang diperdebatkan adalah posisi
pendidikan agama tertentu dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki latar
belakang pemihakan pada agama tertentu. Misalnya, pada lembaga pendidikan
muslim terdapat siswa yang bukan muslim, mungkinkah bisa diajarkan pendidikan
agama lain pada lembaga tersebut dan atau sebaliknya.[11]
Persoalan ini sempat menyeruak ketika terjadi
pengesahan undang-undang sisdiknas no. 20 tahun 2003. Meski demikian,
perdebatan yang menimbulkan pro-kontra tersebut dapat terselesaikan dengan cara
yang lebih demokratis, realistik dan sesuai dengan kebebasan serta upaya
menjunjung tinggi hak asasi manusia.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pendidikan merupakan bimbingan yang dilakukan secara
sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik
menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Pembentukan kepribadian yang utama tentunya tidak
terlepas dari peran pendidikan agama. Oleh karena itu pendidikan agama
menempati posisi yang penting dalam lingkup sistem pendidikan nasional.
Dalam undang-undang sistem pendidikan nasional tahun 2003
disebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tentunya
dari tujuan pendidikan nasional tersebut kita dapat simpulkan bahwa pendidikan
nasional berkehendak mencipta manusia yang relegius dan nasionalis. Relegius
berkorelasi dengan penciptaan kepribadian mulia atau ahlak mulia, sedang
nasionalis lebih kepada rasa tanggung jawab sebagai putra bangsa.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa sistem pendidikan nasional sejalan dengan
pendidikan islam bahkan merupakan bagian integral dari sistem pendidikan
nasional.
3.2. Saran
Penulis
sangat yakin jika makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu masukan
yang membangun dari semua pihak sangat diperlukan untuk menyempurnakannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah
Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2006.
Abuddin
Nata, Filsafat Pendidikan Islam,
Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001.
___________,
Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam
di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo,2004.
Ahmad
D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan
Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1996.
Soeganda
Purbakawatja, Pendidikan dalam Alam
Indonesia Merdeka, Jakarta: Gunung Agung, 1970.
Undang-undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Zakiah
daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
[1] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,
Bandung: Al-Ma’arif, 1996, hlm.166.
[2] Soeganda Purbakawatja, Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka,
Jakarta: Gunung Agung, 1970, hlm. 11.
[3] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001. hlm.
10.
[4] Zakiah daradjat, Ilmu Pendidikan
Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, hlm. 28.
[5] Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi
Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006, hlm. 47
[6] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT.
Raja Grafindo, 2004. hlm.130.
[8] Undang-undang sisdiknas tahun 2003
bab II pasal 2 tentang dasar fungsi dan tujuan.
[9] Abudin Nata. Tokoh-tokoh Pembaruan
Pendidikan Islam di Indonesia..hlm.291.
[11] Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 12 ayat 1a tentang peserta
didik, “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak
mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan
oleh pendidik yang seagama”.
Langganan:
Postingan (Atom)