2013/01/28

PROSEDUR PENGEMBANGAN EVALUASI PEMBELAJARAN


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Suatu kegiatan evaluasi dikatakan berhasil jika sang evaluator mengikuti prosedur dalam melaksanakan evaluasi. Prosedur disini dimaksudkan sebagai langkah-langkah pokok yang harus ditempuh dalam melakukan evaluasi. Tentu tidak dapat dipungkiri bahwa banyak pandangan berkaitan dengan prosedur kegiatan evaluasi ini, namun dalam hal ini penulis akan memaparkan prosedur evaluasi yang dikembangkan oleh Drs. Zaenal Arifin, M.Pd dalam bukunya “Evaluasi Pembelajaran”. Dalam buku tersebut, prosedur yang harus diikuti evaluator meliputi perencanaan evaluasi, monitoring pelaksanaan evaluasi, pengolahan data dan analisis, pelaporan hasil evaluasi, dan pemanfaatan hasil evaluasi.[1]
Dalam kaitannya dengan evaluasi, guru merupakan salah satu sosok evaluator yang sangat bertanggung jawab terhadap kegiatan evaluasi itu sendiri. Sebab guru merupakan orang yang melaksanakan proses pembelajaran. karena itu baik-buruknya evaluasi diantaranya juga tergantung pada sang evaluator.  
Dengan demikian, sudah selayaknya evaluator ini mengikuti prosedur-prosedur yang telah digariskan. Mengikuti prosedur yang telah ditetapkan bisa dikatakan sebagai bentuk tanggung jawab seorang evaluator. Dengan mengikuti prosedur evaluasi yang baik, kegiatan evaluasi dapat dipertanggung jawabkan dan memiliki arti bagi semua pihak.
B. Identifikasi Masalah
1.      Banyak evaluator yang melakukan kegiatan evaluasi tanpa sebuah perencanaan yang matang.
2.      Jarang ada tindak lanjut terhadap evaluasi yang telah dilakukan.
3.      Belum diikutinya prosedur dalam pengembangan evaluasi
B. Pembatasan Masalah
Dalam makalah sederhana ini penulis akan membatasi masalah pada prosedur pengembangan evaluasi yang dikembangkan oleh Drs. Zaenal Arifin, M.Pd dalam bukunya “Evaluasi Pembelajaran”. Diantara prosedur tersebut adalah: perencanaan evaluasi, pelaksanaan evaluasi dan monitoring, pengolahan data dan analisis, pelaporan hasil evaluasi, dan pemanfaatan hasil evaluasi.
C. Rumusan Masalah
Bagaimana tahapan prosedur evaluasi pembelajaran?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tahapan prosedur pengembangan evaluasi pembelajaran.
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Prosedur
Prosedur dalam Wikipedia disebutkan sebagai serangkaian aksi yang spesifik atau tindakan atau operasi yang harus dijalankan atau dieksekusi dengan cara yang sama agar selalu memperoleh hasil yang sama dari keadaan yang sama[2]. Lebih jauh prosedur diindikasikan sebagai rangkaian aktivitas, tugas-tugas, langkah-langkah, keputusan-keputusan, perhitungan-perhitungan dan proses-proses, yang dijalankan melalui serangkaian pekerjaan yang menghasilkan suatu tujuan yang diinginkan, suatu produk atau sebuah akibat. Sebuah prosedur biasanya mengakibatkan sebuah perubahan.
Kamaruddin menyebut prosedur sebagai suatu susunan yang teratur dari kegiatan yang berhubungan satu sama lainnya dan prosedur-prosedur yang berkaitan melaksanakan dan memudahkan kegiatan utama dari suatu organisasi.[3]
Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan yang dimaksud dengan prosedur adalah suatu tata cara kerja atau kegiatan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan tujuan tertentu dan memiliki pola kerja yang sistematis
B. Pengembangan
Pengembangan berasal dari kata dasar ‘kembang’ yang bisa diartikan tumbuh. Sementara pengembangan dalam sebuah kamus online disebut sebagai pembangunan secara bertahap dan teratur yg menjurus ke sasaran yg dikehendaki[4]
C. Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi adalah kata Indonesia yang diterjemahkan dari bahasa Inggris evaluation yang diterjemahkan menjadi penilaian.[5] Evaluasi menurut Ramayulis mengandung dua makna, yaitu; measurenment dan evaluation itu sendiri. Measurenment (pengukuran) merupakan proses untuk memperoleh gambaran beberapa angka dan tingkatan ciri yang dimiliki individu. Sedang evaluation (penilaian) merupakan proses mengumpulkan, menganalisis dan mengintepretasikan informasi guna menetapkan keluasaan pencapaian tujuan oleh individu.
Sementara pembelajaran merupakan kata yang berasal dari kata dasar belajar yang berarti sebuah proses perubahan di dalam kepribadian manusia dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, ketrampilan, daya pikir, dan kemampuan-kemampuan yang lain.[6] Dengan demikian pembelajaran sendiri merupakan proses dalam melakukan perubahan yang dilakukan oleh perubah dan yang akan dirubah. Dengan kata lain pembelajaran adalah proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dan peserta didik. Tujuan pembelajaran menggambarkan kemampuan atau tingkat penguasaan yang diharapkan dicapai oleh siswa setelah mereka mengikuti suatu proses pembelajaran.[7]
Dengan demikian evaluasi pembelajaran adalah penilaian terhadap kompetensi yang sudah dicapai oleh peserta didik setelah melakukan proses belajar mengajar.[8] Evaluasi pembelajaran sebagai tolak ukur keberhasilan proses belajar mengajar.
Dalam buku ‘Strategi Belajar Mengajar’, Taufik menyebut indikator keberhasilan belajar mengajar adalah:
1.   Daya serap terhadap materi yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individu maupun kelompok.
2.   Perilaku yang digariskan oleh SK dan KD telah dicapai oleh peserta didik baik individu maupun klasikal.[9]
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif, yang model penelitiannya bersifat analitis dan deskriptis. Penelitian kualitatif sendiri merupakan penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisa fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individu ataupun kelompok.
B. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini bersifat library research atau study kepustakaan dengan pendekatan deskriptif analitis, yaitu suatu pendekatan yang hanya bersifat menganalisa dan menggambarkan saja tanpa mengadakan perhitungan data yang kuantitatif.
C. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan literature yang berkaitan dengan teori data primer.
Sesuai dengan konsepsi awal bahwa variabel adalah yang menjadi titik perhatian dalam sebuah penelitian. Jadi yang menjadi titik perhatian dalam penelitian ini adalah Prosedur Pengembangan Evaluasi Pembelajaran  
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumenter, yakni pengumpulan data melalui catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, leger, agenda dan lain-lain.
E. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul maka dilakukan analisa. Karena penelitian ini bersifat kualitatif, maka ada beberapa metode yang bisa digunakan untuk menganalisa data-data tersebut, yaitu:
1.      Metode deduktif; cara berpikir dengan menggunakan analisa yang berpijak pada pengertian atau fakta-fakta yang bersifat umum yang kemudian diteliti dan hasilnya dapat memecahkan persoalan khusus.
2.      Metode Induktif; cara berpikir dengan menggunakan analisa yang berpijak pada pengertian atau fakta-fakta yang bersifat khusus yang kemudian diteliti dan hasilnya dapat memecahkan persoalan umum.   

BAB IV
PEMBAHASAN

A. Prosedur Pengembangan Evaluasi Pembelajaran
Sebagaimana yang diutarakan dalam pendahuluan diatas, bahwa seorang evaluator dalam melakukan kegiatan evaluasi harus mengikuti prosedur-prosedur yang digariskan. Tujuannya adalah agar evaluasi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan, sistematis, efisien dan dapat dipertanggung jawabkan. Diantara prosedur tersebut adalah; perencanaan evaluasi, monitoring pelaksanaan evaluasi, pengolahan data dan analisis, pelaporan hasil evaluasi, dan pemanfaatan hasil evaluasi.[10]

1. Perencanaan Evaluasi.
Perencanaan evaluasi dimaksudkan agar hasil yang diperoleh dari evaluasi dapat lebih maksimal. Perencanaan ini penting bahkan mempengaruhi prosedur evaluasi secara menyeluruh. Perencanaan evaluasi dilakukan untuk memfasilitasi pengumpulan data, sehingga memungkinkan membuat pernyataan yang valid tentang pengaruh sebuah efek atau yang muncul di luar program, praktik, atau kebijakan yang di teliti. Kegunaan dari perencanaan evaluasi adalah : (1) perencanaan evaluasi membantu untuk mengetahui apakah standar dalam menyatakan sikap atau perilaku  telah mencapai sasaran atau tidak, jika demikian sasaran akan dinyatakan ambigu dan akan kesulitan merancang tes untuk mengukur prestasi siswa; (2) perencanaan evaluasi adalah proses awal yang dipersiapkan untuk mengumpulkan informasi  yang  tersedia; (3) rencana evaluasi menyediakan waktu yang cukup untuk mendesain tes.
Untuk merancang sebuah tes yang baik memerlukan persiapan yang cermat dan kualitas tes biasanya lebih baik jika dirancang dengan cara tidak tergesa-gesa; Implikasinya adalah perencanaan evaluasi harus dirumuskan secara jelas dan spesifik, terurai dan komprehensif sehingga perencanaan tersebut bermakna dalam menentukan langkah-langkah selanjutnya dalam menetapkan tujuan-tujuan tingkah laku (behavioral objective) atau indikator yang akan dicapai, dapat mempersiapkan pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan serta dapat menggunakan waktu yang tepat.
Dalam melakukan perencanaan evaluasi, hal-hal yang patut diperhatikan adalah sebagai berikut:
1)       Analisis Kebutuhan.
Adalah suatu proses yang dilakukan oleh seseorang untuk mengidentifikasi kebutuhan dan menentukan skala prioritas pemecahannya. Analisis kebutuhan merupakan bagian integral dari sistem pembelajaran secara keseluruhan, yang dapat digunakan untuk menyelesaiakan masalah-masalah pembelajaran. langkah-langkah yang dilakukan adalah mengindentifikasi dan mengklarifikasi masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, analisa data dan kesimpulan.
2)       Menentukan Tujuan Penilaian.
Tujuan penilaian merupakan dasar untuk menentukan arah, ruang lingkup materi, jenis/model dan karakter alat penilaian. Ada empat kemungkinan tujuan penilain : (1) penilaian formatif, yaitu untuk memperbaiki kinerja atau proses pembelajaran; (2) penialian sumatif, yaitu untuk menentukan keberhasilan peserta didik; (3) penialian diagnostik, yaitu untuk mengidentifikasi kesulitan belajar peserta didik dalam proses pembelajaran; (4) penilaian penempatan, yaitu untuk menempatkan posisi peserta didik sesuai dengan kemampuannya.
3)       Mengidentifikasi Kompetensi dan Hasil Belajar.
Bertujuan untuk mengidentifikasi kompetensi yang akan diuji sesuai dengan standar kompetensi, kompetensi dasar, hasil belajar dan indikator yang terbagi dalam tiga domain (1) domain kognitif meliputi: pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sisnteis dan evaluasi; (2) domain afektif meliputi: penerimaan, respons, penilaian, organisasi, kakaterisasi; (3) domaian psikomotor meliputi: persepsi, kesiapan melakukan pekerjaan, respon terbimbing, kemahiran, adaptasi dan orijinasi
4)       Menyusun Kisi-Kisi.
Kisi-kisi adalah format pemetaan soal yang menggambarkan distribusi item untuk berbagai topik atau pokok bahasan berdasarkan jenjang kemampuan tertentu yang berfungsi sebagai pedoman untuk menulis soal atau merakit soal menjadi perangkat tes. Kisi-kisi yang baik akan memperoleh perangkat soal yang relatif sama sekalipun penulis soalnya berbeda. Kisi-kisi penting dalam perencanaan penilaian hasil belajar karena di dalamnya terdapat sejumlah indikator sebagai acuan dalam mengembangkan instrumen (soal) dengan persyaratan (1) representatif, yaitu harus betul-betul mewakili isi kurikulum sebagai sampel perilaku yang akan di nilai; (2) komponen-komponennya harus terurai/terperinci, jelas, dan mudah dipahami; (3) soalnya dapat dibuat sesuai dengan indikator dan bentuk soal yang diterapkan. Manfaat dari indikator dalam kisi-kisi adalah (1) dapat memilih materi, metode, media dan sumber belajar yang tepat, sesuai dengan kompetensi yang telah di tetapkan; (2) sebagai pedoman dan pegangan untuk menyusun soal atau isntrumen penilaian lain yang tepat, sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah di tetapkan. Dalam menyusun kisi-kisi harus memperhatikan domain hasil belajar yang akan diukur dengan sistematika : (1) aspek recall, yang berkenaan dengan aspek-aspek pengetahuan tentang istilah-istilah, definisi, fakta, konsep, metode dan prinsip-prinsip; (2) aspek komprehensif, yaitu berkenaan dengan kemampuan-kemampuan antara lain: menjelaskan, menyimpulkan suatu informasi, menafsirkan fakta (grafik, diagram, tabel, dan lain-lain), mentransfer pernyataan dari suatu bentuk ke dalam bentuk lain (pernyataan verbal ke non-verbal atau dari verbal ke dalam bentuk rumus), memprakirakan akibat atau konsekuensi logis dari suatu situasi; (3) aspek aplikasi yang meliputi kemampuan-kemampuan antara lain: menerapkan hukum/prinsip/teori dalam suasana sesungguhnya, memecahkan masalah, membuat (grafik, diagram dan lain-lain), mendemonstrasikan penggunaan suatu metode, prosedur dan lain-lain.
5)          Mengembangkan Draft.
Draft instrumen merupakan penjabaran indikator menjadi pertanyaan-pertanyaan yang karakteristiknya sesuai dengan pedoman kisi-kisi. Setiap pertanyaan harus jelas dan terfokus serta menggunakan bahasa yang efektif, baik bentuk pertanyaan maupun bentuk jawabannya. Kualitas butir soal akan menentukan kualitas tes secara keseluruhan. Dengan prosedur soal yang disusun ditelaah oleh tim ahli yang terdiri dari ahli bahasa, ahli bidang studi, ahli kurikulum dan ahli evaluasi. Untuk draft dalam bentuk non-tes dapat dibuat dalam bentuk angket, pedoman observasi, pedoman wawancara, studi dokumentasi, skala sikap, penilaian bakat, minat dan sebagainya.
6)       Uji Coba dan Analisis Soal.
 Bertujuan untuk mengetahui soal-soal mana yang perlu diubah, diperbaiki, bahkan dibuang sama sekali, serta soal mana yang baik untuk diperguankan selanjutnya. Soal yang baik adalah soal yang sudah mengalami beberapa kali uji coba dan revisi yang didasarkan atas: (1) analisis empiris, yang dimaksudkan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan setiap soal yang digunakan. Informasi empiris pada umumnya menyangkut segala hal yang dapat memengaruhi validitas soal meliputi: aspek-aspek keterbacaan soal, tingkat kesukaran soal, bentuk jawaban, daya pembeda soal, pengaruh kultur, dan sebagainya; (2) analisis rasional, yang dimaksudkan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan setiap soal. Kedua analisis tersebut dilakukan pula terhadap instrumen evaluasi dalam bentuk nontes.
7)       Revisi dan Merakit Soal (Instrumen Baru).
Soal yang sudah di uji coba dan di analisis, direvisi kembali sesuai dengan proporsi tingkat kesukaran soal dan daya pembeda. Dengan demikian, ada soal yang masih dapat diperbaiki dari segi bahasa, atau direvisi total, baik menyangkut pokok soal (stem) maupun alternatif jawaban (option) yang kemudian dilakukan perakitan soal menjadi suatu instrumen yang terpadu dengan memperhatikan validitas skor tes, nomor urut soal, pengelompokkan bentuk soal, penataan soal dan sebagainya.
2. Pelaksanaan Evaluasi.
Pelaksanaan evaluasi artinya bagaimana cara melaksanakan suatu evaluasi sesuai dengan perencanaan evaluasi. Dengan kata lain tujuan evaluasi, model dan jenis evaluasi, objek evaluasi, instrumen evaluasi, sumber data, semuanya sudah dipersiapkan pada tahap perencanaan evaluasi yang pelaksanaannya bergantung pada jenis evaluasi yang digunakan. Jenis evaluasi yang digunakan akan mempengaruhi seorang evaluator dalam menentukan prosedur, metode, instrumen, waktu pelaksanaan, sumber data dan sebagainya, yang pelaksanaannya dapat dilakukan dengan :
a)      Non-tes yang dimaksudkan untuk mengetahui perubahan sikap dan tingkah laku peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran, pendapat terhadap kegiatan pembelajaran, kesulitan belajar, minat belajar, motivasi belajar dan mengajar dan sebagainya. Instrumen yang digunakan (1) angket; (2) pedoman observasi; (3) pedoman wawancara; (4) skala sikap; (5) skala minat; (6) daftar chek; (7) rating scale; (8) anecdotal records; (9) sosiometri; (10) home visit
b)      Untuk mengetahui tingkat penguasaan kompetensi menggunakan bentuk tes pensil dan kertas (paper and pencil test) dan bentuk penilaian kinerja (performance), memberikan tugas atau proyek dan menganalisis hasil kerja dalam bentuk portofolio.
Tujuannya adalah untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai keseluruhan aspek kepribadian dan prestasi belajar peserta didik yang meliputi (1) data pribadi (personal) yang meliputi nama, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, golongan darah, alamat dan lain-lain; (2) data tentang kesehatan yang meliputi pengelihatan, pendengaran, penyakit yang sering diderita dan kondisi fisik; (3) data tentang prestasi belajar (achievement) di sekolah; (4) data tentang sikap (attitude) meliputi sikap terhadap teman sebaya, sikap terhadap kegiatan pembelajaran, sikap terhadap pendidik dan lembaga pendidikan dan sikap terhadap lingkungan sosial; (5) data tentang bakat (aptitude) yang meliputi data tentang bakat di bidang olahraga, keterampilan mekanis, keterampilan manajemen, kesenian dan keguruan; (6) persoalan penyesuaian (adjustment) meliputi kegiatan dalam organisasi di sekolah, forum ilmiah, olahraga dan kepanduan; (7) data tentang minat (interest); (8) data tentang rencana masa depan yang dibantu oleh pendidik, orang tua sesuai dengan kesanggupan peserta didik; (9) data tentang latar belakang yang meliputi latar belakang keluarga, pekerjaan orang tua, penghasilan tiap bulan, kondisi lingkungan, serta hubungan dengan orang tua dan saudara-saudaranya.
Sedangkan kecenderungan evaluasi yang tidak memuaskan dapat ditinjau dari beberapa segi (1) proses dan hasil evaluasi kurang memberi keuntungan bagi peserta didik, baik secara langsung maupun tidak langsung; (2) penggunaan teknik dan prosedur evaluasi kurang tepat berdasarkan apa yang sudah dipelajari peserta didik; (3) prinsip-prinsip umum evaluasi kurang dipertimbangkan dan pemberian skor cenderung tidak adil; (4) cakupan evaluasi kurang memperhatikan aspek-aspek penting dari pembelajaran.
3. Monitoring Pelaksanaan Evaluasi.
Monitoring dilakukan untuk melihat apakah pelaksanaan evaluasi pembelajaran telah sesuai dengan perencanaan evaluasi yang telah ditetapkan atau belum, dengan tujuan untuk mencegah hal-hal negatif dan meningkatkan efisiensi pelaksanaan evaluasi. Monitoring mempunyai dua fungsi pokok (1) melihat relevansi pelaksanaan evaluasi dengan perencaan evaluasi; (2) melihat hal-hal apa yang terjadi selama pelaksanaan evaluasi dengan mencatat, melaporkan dan menganalisis faktor-faktor penyebabnya. Dalam pelaksanaannya dapat digunakan teknik (1) observasi partisipatif; (2) wawancara bebas atau terstruktur; (3) studi dekumentasi. Hasil dari monitoring dapat dijadikan landasan dan acuan untuk memperbaiki pelaksanaan evaluasi selanjutnya.
4. Pengolahan Data.
Mengolah data berarti mengubah wujud data yang sudah dikumpulkan menjadi sebuah sajian data yang menarik dan bermakna. Data hasil evaluasi yang berbentuk kualitatif diolah dan dianalisis secara kualitatif, sedangkan data hasil evaluasi yang berbentuk kuantitatif diolah dan dianalisis dengan bantuan statistika deskriptif maupun statistika inferensial. Ada empat langkah pokok dalam mengolah hasil penelitian :
1)       Menskor, yaitu memberikan skor pada hasil evaluasi yang dapat dicapai oleh perserta didik. Untuk menskor atau memberikan angka diperlukan tiga jenis alat bantu yaitu kunci jawaban, kunci skoring dan pedoman konversi
2)       Mengubah skor mentah menjadi skor standar dengan norma tertentu
3)       Mengkonversikan skor standar ke dalam nilai, baik berupa huruf atau angka
4)       Melakukan analisis soal (jika diperlukan) untuk mengatahui derajat validitas dan reliabilitas soal, tingkat kesukaran sola (difficulty index)  dan daya pembeda
Mengolah data dengan sendirinya akan menafsirkan hasil pengolahan itu. Memberikan interpretasi maksudnya adalah memberikan pernyataan (statement) mengenai hasil pengolahan data. Interpretasi terhadap suatu hasil evaluasi didasarkan atas kriteria tertentu yang ditetapkan terlebih dahulu secara rasional dan sistematis sebelum kegiatan evaluasi dilaksanakan, tetapi dapat pula dibuat berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh dalam melaksanakan evaluasi. Sebaliknya jika penafsiran data tidak berdasarkan kriteria atau norma tertentu, maka ini termasuk kesalahan besar dan ada dua jenis penafsiran data :
1)       Penafsiran kelompok,
      yaitu penafsiran yang dilakukan untuk mengetahui karakteristik kelompok berdasarkan data hasil evaluasi yang meliputi prestasi kelompok, rata-rata kelompok, sikap kelompok terhadap pendidik dan materi yang diberikan, dan distribusi nilai kelompok. Tujuannya adalah sebagai persiapan untuk melakukan penafsiran kelompok, untuk mengetahui sifat-sifat tertentu pada suatu kelompok dan untuk menggandakan perbandingan  antarkelompok.
2)       Penafsiran individual,
      yaitu penafsiran yang hanya dilakukan secara perseorangan diantaranya bimbingan dan penyluhan atau situasi klinis lainnya. Tujuannya adalah untuk melihat tingkat kesiapan peserta didik (readiness), pertumbuhan fisik, kemajuan belajar dan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.
            Dengan penafsiran ini dapat diputuskan bahwa peserta didik mencapai taraf  kesiapan yang memadai atau tidak, ada kemajuan yang berarti atau tidak, ada kesulitan atau tidak.
 5. Pelaporan Hasil Evaluasi.
Laporan kemajuan belajar peserta didik merupakan sarana komunikasi antara sekolah, peserta didik dan orang tua dalam upaya mengembangkan dan menjaga hubungan kerja sama yang harmonis, oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan (1) konsisten dengan pelaksanaan nilai di sekolah; (2) memuat perincian hasil belajar peserta didik beradasarkan kriteria yang telah ditentukan dan dikaitkan dengan penilaian yang bermanfaat bagi perkembangan peserta didik; (3) menjamin orang tua akan informasi permasalahan peserta didik dalam belajar; (4) mengandung berbagai cara dan strategi berkomunikasi; (5) memberikan informasi yang benar, jelas, komprehensif dan akurat. Laporan kemajuan dapat dikategorikan menjadi dua jenis (1) laporan prestasi mata pelajaran, yang berisi informasi tentang pencapaian komptensi dasar yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Prestasi peserta didik dilaporkan dalam bentuk angka yang menunjukkan penguasaan komptensi dan tingkat penguasaannya; (2) laporan pencapaian, yang menggambarkan kualitas pribadi peserta didik sebagai internalisasi dan kristalisasi setelah peserta didik belajar melalui berbagai kegiatan, baik intra, ekstra dan ko kurikuler.
6. Penggunaan Hasil Evaluasi.
Salah satu pengguanan hasil evaluasi adalah laporan. Laporan yang dimaksudkan untuk memberikan feedback kepada semua pihak yang terlibat dalam pembelajaran, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara umum terdapat lima penggunaan hasil evaluasi untuk keperluan berikut
1)       Laporan Pertanggungjawaban, dengan asumsi banyak pihak yang berkepentingan terhadap hasil evaluasi, oleh karena itu laporan ke berbagai pihak sebagai bentuk akuntabilitas publik
2)       Seleksi, dengan asumsi setiap awal dan akhir tahun terdapat peserta didik yang masuk sekolah dan menamatkan sekolah pada jenjang pendidikan tertentu dimana hasil evaluasi dapat digunakan untuk menyeleksi baik ketika masuk sekolah/jenjang atau jenis pendidikan tertentu, selama mengikuti program pendidikan, pada saat mau menyelesaikan jenjang pendidikan, maupun ketika masuk dunia kerja
3)       Promosi, dengan asumsi prestasi yang diperoleh akan diberikan ijazah atau sertifikat sebagai bukti fisik setelah dilakukan kegiatan evaluasi dengan kriteria tertentu baik aspek ketercapaian komptensi dasar, perilaku dan kinerja peserta didik.
4)       Diagnosis, dengan asumsi hasil evaluasi menunjukkan ada peserta didik yang kurang mampu menguasai kompetensi sesuai dengan kriteria yang yang telah ditetapkan maka perlu dilakukan diagnosis untuk mencari faktor-faktor penyebab bagi peserta didik yang kurang mampu dalam menguasai komptensi tertentu sehingga diberikan bimbingan atau pembelajaran remedial. Bagi yang telah menguasai kompetensi lebih cepat dari peserta didik yang lain, mereka juga berhak mendapatkan pelayanan tindak lanjut untuk mengoptimalkan laju perkembangan mereka.
5)       Memprediksi Masa Depan Peserta Didik, tujuannya adalah untuk mengetahui sikap, bakat, minat dan aspek-aspek kepribadian lainnya dari peserta didik, serta dalam hal apa peserta didik diangap paling menonjol sesuai dengan indikator keunggulan, agar dapat dianalisis dan dijadikan dasar untuk pengembangan peserta didik dalam memilih jenjang pendidikan atau karier pada masa yang akan datang

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Prosedur pengembangan evaluasi pembelajaran merupakan langkah-langkah yang harus diikuti oleh seorang evaluator atau tim evaluator dalam melakukan kegiatan evaluasi. Prosedur-prosedur tersebut adalah; perencanaan evaluasi, monitoring pelaksanaan evaluasi, pengolahan data dan analisis, pelaporan hasil evaluasi, dan pemanfaatan hasil evaluasi.
B. Saran
            Dengan mengetahui tentang langkah-langkah yang harus dilakukan dalam melakukan kegiatan evaluasi, diharapkan para guru atau yang menjadi evaluator untuk senantiasa mengikuti prosedur pengembangan evaluasi pembelajaran. Dengan prosedur yang sudah ditetapkan akan melahirkan kualitas evaluasi yang dapat mendorong mutu pendidikan kita.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainal. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2011.
http://alisadikinwear.wordpress.com/2011/10/20/prosedur-pengembangan-evaluasi-pembelajaran/
http://belajar.ws/pengertian-belajar-dan-definisi-belajar.html
http://fandyjayanto.blogspot.com/2012/11/pengembangan-evaluasi-pembelajaran.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Prosedur
http://www.artikata.com/arti-367883-pengembangan.html
http://www.sarjanaku.com/2012/11/pengertian-pembelajaran-menurut-para.html
Kamaruddin. Organisasi dan Kepemimpinan. Jakarta: Mutiara Hati. 1992.
Ramayulis. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia. 2008.
Taufik. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Inti Prima. 2010.


[1] Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2011. hal. 88
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Prosedur
[3] Kamaruddin. Organisasi dan Kepemimpinan. Jakarta: Mutiara Hati. 1992. hal. 32
[4] http://www.artikata.com/arti-367883-pengembangan.html
[5] Ramayulis. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia. 2008. hal. 400
[6] http://belajar.ws/pengertian-belajar-dan-definisi-belajar.html
[7] http://www.sarjanaku.com/2012/11/pengertian-pembelajaran-menurut-para.html
[8] Ramayulis. Metodologi Pendidikan Agama Islam. hal. 400
[9] Taufik. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Inti Prima. 2010. hal. 91
[10] Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran. Bandung. hal. 88

2013/01/09

POSISI PENDIDIKAN AGAMA DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.                      Latar Belakang
Persoalan pendidikan merupakan persoalan yang tidak pernah berhenti dibincangkan, sebab pendidikan erat kaitannya dengan persoalan manusia dalam rangka memberi makna dan arah normal kepada eksistensi dirinya. Pendidikan juga bisa dikatakan suatu proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, dan berlangsung sepanjang hayat, yang dilaksanakan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pendidikan dalam proses mencapai tujuannya perlu dikelola dalam suatu sistem terpadu dan serasi.
Dalam kaitannya dengan nilai kebangsaan, pendidikan diartikan sebagai perjuangan bangsa, yaitu pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, yang dalam pelaksanaannya diatur dalam sistem pendidikan nasional.
Sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini berarti bahwa tujuan akhir pendidikan nasional adalah mencipta manusia Indonesia seutuhnya atau yang dalam bahasa agamanya disebut insan kamil, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Berkenaan dengan tujuan pendidikan nasional tersebut, Pendidikan agama mempunyai peran penting dalam mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, akhlak mulia dan kepribadian. Karena itu dalam undang-undang sisdiknas 2003, pendidikan agama sebagai sumber nilai dan bagian dari pendidikan nasional.
1.2.        Rumusan masalah
1.    Apakah pengertian pendidikan, pendidikan agama dan pendidikan nasional?
2.    Bagaimana gambaran sistem pendidikan agama (islam) di Indonesia?
3.    Bagaimana posisi pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional?
1.3.      Tujuan penulisan
1.    Untuk mengetahui pengertian pendidikan, pendidikan agama dan pendidikan nasional.
2.    Untuk melihat gambaran pendidikan agama islam di Indonesia.
3.    Untuk mengetahui posisi pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional



BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian pendidikan, pendidikan agama dan pendidikan nasional
Ahmad D. Marimba memaknai pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[1] Marimba pun merumuskan lima unsur utama dalam pendidikan, yaitu; 1) Usaha yang bersifat bimbingan, pertolongan, atau pimpinan yang dilakukan secara sadar. 2) Ada pendidik, pembimbing atau penolong. 3) Ada yang di didik atau peserta didik. 4) Adanya dasar atau tujuan dalam bimbingan tersebut. 5) Adanya alat yang digunakan dalam usaha tersebut.
Soeganda Poerbakawatja lebih umum mengartikan pendidikan sebagai upaya dan perbuatan generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya dan keterampilannya kepada generasi muda untuk melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama sebaik-baiknya.[2]
Sedangkan Abuddin Nata menyimpulkan pendidikan merupakan kegiatan yang dilakukan dengan sengaja, seksama, terencana dan bertujuan yang dilaksanakan oleh orang dewasa dalam arti memiliki bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan menyampaikannya kepada secara bertahap.[3]
Sementara pendidikan agama sebagaimana penjelasan Zakiyah Darajat, dalam hal ini agama islam, adalah pembentukan kepribadian muslim atau perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan petunjuk ajaran Islam.[4] Muhammad Qutb, sebagaimana dikutip Abdullah Idi dan Toto Suharto, memaknai pendidikan Islam sebagai usaha melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, baik dari segi jasmani maupun ruhani, baik dari kehidupan fisik maupun mentalnya, dalam kegiatan di bumi ini.[5] Jadi tujuan akhir pendidikan Islam adalah pembentukkan tingkah laku islami (akhlak mulia) dan kepasrahan (keimanan) kepada Allah berdasarkan pada petunjuk ajaran Islam (Al-Qur’an dan Hadis). Dengan kata lain tujuan akhir pendidikan Muslim terletak pada realitas kepasrahan mutlak kepada Allah pada tingkat individual, masyarakat, dan kemanusian pada umumnya
Berkenaan dengan pendidikan nasional, sepertinya pendapat Ki Hajar Dewantoro, yang disunting oleh Abuddin Nata, sudah bisa mewakili. Ia berpendapat bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang beralaskan garis hidup dari bangsanya dan ditujukan untuk keperluan prikehidupan yang dapat mengangkat derajat Negara dan rakyatnya agar dapat bekerjasama dengan bangsa lain untuk kemuliaan segenap manusia di muka bumi.[6] 
Lebih lanjut, Ki Hajar menyoroti pendidikan sebagai upaya memelihara hidup tumbuh ke arah kemajuan. Pendidikan menurutnya adalah usaha kebudayaan berasaskan peradapan, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.
Sementara dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian maka tujuan pendidikan yang hendak dicapaipun disesuaikan dengan kepentingan bangsa Indonesia, yang sekarang ini tujuan pendidikan tersebut dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU sisdiknas). Dalam salah satu bab diterangkan Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
2.2.  Gambaran Sistem Pendidikan Agama Islam di Indonesia
Ketika kita membicarakan sistem pendidikan agama islam di Indonesia, maka kita tidak bisa lepas dari sejarah perkembangan islam di Indonesia itu sendiri.
Pada awal perkembangan islam di Indonesia, pendidikan agama diberikan dalam bentuk informal. Para pembawa islam, yaitu saudagar dari Gujarat, menyiarkan dan memberi pendidikan agama melalui orang-orang yang membeli dagangannya. Pendidikan yang diberikan lebih mengutama melalui contoh teladan. Mereka berlaku sopan santun, ramah tamah, tulus ihlas, amanah, jujur, adil serta pemurah. Dengan demikian, banyak masyarakat yang tertarik dan mengikutinya.
Setelah tersebarnya islam melalui pendidikan informal ini, pendidikan islam sudah mulai mencari lahan khusus sebagai tempat pendidikan. Surau, langgar atau mushalla dan masjid adalah tempat memberikan pengajaran diluar pendidikan keluarga. Tujuan para pendidik hanya untuk bisa memberikan ilmunya kepada peserta didik tanpa ada imbalan apapun. Pendidikan diberikan dengan sangat sederhana dan inilah yang menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pesantren dan pendidikan islam yang formal dalam bentuk madrasah.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan pergeseran kekuasaan di Indonesia, pendidikan islam juga mengalami perubahan. Pendidikan islam mulai bersentuhan dengan sistem pendidikan formal yang lebih sistematis dan teratur. Tentunya perubahan ini juga berpengaruh terhadap arah tujuan pendidikan islam itu sendiri, yang sebelumnya hanya mengkaji ilmu-ilmu pokok agama meningkat meningkat kepada kajian ilmu yang lain.
Usaha pembaharuan pendidikan islam dapat kita lihat dengan bergesernya pendidikan surau, langgar, masjid, mushalla kepada pendidikan madrasah, pondok pesantren atau lembaga-lembaga yang berdasarkan keagamaan. Dalam pendidikan ini, sistem klasikal mulai diterapkan. Bangku, meja dan papan tulis mulai digunakan dalam melaksanakan pendidikan dan pengajaran agama islam.
Madrasah Adabiyah di Padang merupakan contoh evolusi pendidikan islam, dari tradisional ke modern. Madrasah Adabiyah, didirikan oleh Syaikh Abdullah Ahmad pada 1909, merupakan pendidikan islam pertama kali di Indonesia yang menerapkan sistem klasikal lengkap dengan sarana dan prasarananya. Selain ilmu agama, Al-qur’an sebagai pelajaran wajib, juga diajarkan pengetahuan umum.[7]
Dalam perkembangannya madrasah terbagi atas madrasah diniyah, khusus mengajarkan ilmu agama, dan madrasah umum yang juga memasukkan ilmu umum di samping ilmu agama. Untuk tingkat dasar disebut madrasah ibtida’iyyah, tingkat menengah disebut madrasah tsanawiyyah, dan tingkat menengah atas disebut madrasah aliyah.
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan pendidikan dan pengajaran agama islam, maka muncul pula lembaga pendidikan formal yang berdasarkan keagamaan seperti SD Islam, SMP Islam, SMA Islam dan bahkan pendidikan agama juga telah masuk dalam kurikulum pendidikan umum negeri.
2.3. Posisi Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional
Undang-undang sistem pendidikan nasional no.20 tahun 2003 bab I tentang ketentuan umum menyebutkan, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Sedangkan pendidikan nasional dalam undang-undang tersebut diartikan sebagai pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sementara sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Yang dimaksud dengan tujuan pendidikan nasional dalam sisdiknas adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.[8]
Dari pengertian pendidikan, pendidikan nasional, sistem pendidikan nasional dan tujuan pendidikan nasional, sangat kental nuansa nilai-nilai agamanya. Pada beberapa bab lainnya juga sangat tampak bahwa kata agama dan nilai-nilai agama kerap mengikutinya. Misalnya, dalam bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Begitupula dalam bab IX tentang kurikulum, bahwa dalam penyusunannya diantaranya harus memperhatikan peningkatan iman dan takwa serta peningkatan ahlak mulia.
Dari rumusan diatas menunjukkan bahwa agama menduduki posisi yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya. Hal yang wajar jika pendidikan nasional berlandaskan pada nilai-nilai agama, sebab bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beragama. Agama bagi bangsa Indonesia adalah modal dasar yang menjadi penggerak dalam kehidupan berbangsa. Agama mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan diri sendiri. Dengan demikian terjadilah keserasian dan keseimbangan dalam hidup manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Jika hal tersebut dipahami, diyakini dan diamalkan oleh manusia Indonesia dan menjadi dasar kepribadian, maka manusia Indonesia akan menjadi manusia yang paripurna atau insan kamil. Dengan dasar inilah agama menjadi bagian terpenting dari pendidikan nasional yang berkenaan dengan aspek pembinaan sikap, moral, kepribadian dan nilai-nilai ahlakul karimah.
Sejalan dengan hal tersebut, Prof. Mastuhu mengungkapkan bahwa pendidikan islam di Indonesia harus benar-benar mampu menempatkan dirinya sebagai suplemen dan komplemen bagi pendidikan nasional, sehingga sistem pendidikan nasional mampu membawa cita-cita nasional, yakni bangsa Indonesia yang modern dengan tetap berwajah iman dan takwa.[9] 
Tidak jauh beda dengan pendapat Mastuhu, guru besar Ilmu Pendidikan Islam  Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, DR. Ahmadi yang dikutip oleh Endin Surya Solehudin, menyebutkan bahwa implikasi dari pemaknaan pendidikan Islam adalah reposisi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Mengenai reposisi pendidikan islam dalam pendidikan nasional, Ahmadi mengemukakan tiga alasan, pertama,  nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar pendidikan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam (Tauhid); kedua, pandangan terhadap manusia sebagai makhluk jasmani-rohani yang berpotensi untuk menjadi manusia bermartabat (makhluk paling mulia); ketiga, pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi (fitrah dan sumber daya manusia) menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur (akhlak mulia), dan memiliki kemampuan untuk memikul tanggung jawab sebagai individu dan anggota masyarakat.[10]
Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada posisi konsep. Ditinjau dari tataran universalitas konsep Pendidikan Islam lebih universal karena tidak dibatasi negara dan bangsa, tetapi ditinjau dari posisinya dalam konteks nasional, konsep pendidikan Islam menjadi subsistem pendidikan nasional. Karena posisinya sebagai subsistem, kadangkala dalam penyelenggaraan pendidikan hanya diposisikan sebagai suplemen. Mengingat bahwa secara filosofis (ontologis dan aksiologis) pendidikan Islam relevan dan merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional, bahkan secara sosiologis pendidikan Islam merupakan aset nasional, maka posisi pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan nasional bukan sekadar berfungsi sebagai suplemen, tetapi sebagai komponen substansial. Artinya, pendidikan Islam merupakan komponen yang sangat menentukan perjalanan pendidikan nasional.
Terlepas dari nilai-nilai agama yang menjadi dasar dari pendidikan nasional, pendidikan agama sempat menjadi masalah ketika masuk dalam sistem pendidikan nasional. Persoalan yang diperdebatkan adalah posisi pendidikan agama tertentu dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki latar belakang pemihakan pada agama tertentu. Misalnya, pada lembaga pendidikan muslim terdapat siswa yang bukan muslim, mungkinkah bisa diajarkan pendidikan agama lain pada lembaga tersebut dan atau sebaliknya.[11]  
Persoalan ini sempat menyeruak ketika terjadi pengesahan undang-undang sisdiknas no. 20 tahun 2003. Meski demikian, perdebatan yang menimbulkan pro-kontra tersebut dapat terselesaikan dengan cara yang lebih demokratis, realistik dan sesuai dengan kebebasan serta upaya menjunjung tinggi hak asasi manusia.



BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pendidikan merupakan bimbingan yang dilakukan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Pembentukan kepribadian yang utama tentunya tidak terlepas dari peran pendidikan agama. Oleh karena itu pendidikan agama menempati posisi yang penting dalam lingkup sistem pendidikan nasional.
Dalam undang-undang sistem pendidikan nasional tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tentunya dari tujuan pendidikan nasional tersebut kita dapat simpulkan bahwa pendidikan nasional berkehendak mencipta manusia yang relegius dan nasionalis. Relegius berkorelasi dengan penciptaan kepribadian mulia atau ahlak mulia, sedang nasionalis lebih kepada rasa tanggung jawab sebagai putra bangsa.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sistem pendidikan nasional sejalan dengan pendidikan islam bahkan merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional.


3.2. Saran
Penulis sangat yakin jika makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu masukan yang membangun dari semua pihak sangat diperlukan untuk menyempurnakannya.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001.
___________, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo,2004.
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1996.

Soeganda Purbakawatja, Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka, Jakarta: Gunung Agung, 1970.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Zakiah daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.



[1] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1996, hlm.166.
[2] Soeganda Purbakawatja, Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka, Jakarta: Gunung Agung, 1970, hlm. 11.
[3] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001. hlm. 10.
[4] Zakiah daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, hlm. 28.
[5] Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006, hlm. 47
[6] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004. hlm.130.
[7] Ibid.,hlm. 19.
[8] Undang-undang sisdiknas tahun 2003 bab II pasal 2 tentang dasar fungsi dan tujuan.
[9] Abudin Nata. Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia..hlm.291.
[11] Undang-undang Sisdiknas  tahun 2003 pasal 12 ayat 1a tentang peserta didik, “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.